Tentang hal para kekasih akan apa yang mereka kerjakan.
Negeriku berkata: Mereka telah menyingkir sejak lama, pergi berjalan
Aku bertanya: kemana aku akan mencari mereka pergi?
Tempat singgah mana yang mereka singgahi
Sang negeri menjawab: Carilah dalam kubur mereka sendiri,
Mereka menghadap Allah dengan amalan mereka pribadi
Saudariku tampak pucat dan kurus. Namun sebagaimana kebiasaannya, ia tetap membaca Al-Qur’an…
Jika engkau mencarinya, pasti akan mendapatinya di tempat shalatnya, sedang rukuk, sujud dan mengangkat kedua tangannya ke atas langit… Demikianlah setiap pagi dan petang, juga di tengah malam buta, tak pernah berhenti dan tak pernah merasa bosan.
Sementara aku amat gemar membaca majalah-majalah seni dan buku-buku yang berisi cerita-cerita. Saya juga biasa menonton video, sampai aku dikenal sebagai orang yang keranjingan nonton. Orang yang banyak melakukan satu hal, pasti akan ditandai dengan perbuatan itu.
Aku tidak menjalankan kewajibanku dengan sempurna. Aku juga bukan orang yang melakukan shalat dengan rutin.
Setelah aku mematikan video player, setelah selama tiga jam aku menonton berbagai macam film berturut-turut, terdengarlah adzan dari masjid sebelah..
Aku pun kembali ke pembaringanku. Wanita itu memanggilku dari arah mushalanya. “Apa yang engkau inginkan wahai Nurah?” tanyaku. Dengan suara tajam saudariku itu berkata kepadaku: “Janganlah engkau tidur sebelum engkau menunaikan shalat Shubuh!” “Ah. Masih tersisa satu jam lagi, yang engkau dengar tadi itu baru adzan pertama…”
Dengan suaranya yang penuh kasih -demikianlah sikapnya selalu sebelum terserang penyakit parah dan jatuh terbaring di atas kasurnya- saudariku itu kembali memanggil: “Mari sini Hanna, duduklah di sisiku.” Sungguh aku sama sekali tidak dapat menolak permintaannya, yang menunjukkan karakter asli dan kejujurannya… Tidak diragukan lagi, dengan pasrah, kupenuhi panggilannya.
“Apa yang engkau inginkan?” tanyaku. “Duduklah.” ujarnya. Aku pun duduk. “Apa gerangan yang akan engkau utarakan?” Dengan suara renyah dan merdu, ia berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Masing-masing jiwa akan mati. Sesungguhnya kalian hanya akan dipenuhi ganjaran kalian di hari Kiamat nanti…” (Ali Imran: 185)
Dia diam sesaat. Kemudian ia bertanya kepadaku: “Apakah engkau percaya pada kematian?” “Tentu saja aku percaya.” jawabku. “Apakah engkau percaya bahwa engkau akan dihisab terhadap perbuatan dosa besar maupun kecil…?” “Benar. Tetapi Allah itu Maha Pengampun, dan umur itu juga panjang..” jawabku.
“Wahai saudariku! Tidakkah engkau takut akan mati mendadak? Lihatlah si Hindun yang lebih kecil darimu. Ia tewas dalam kecelakaan mobil. Juga si Fulanah dan si Fulanah.” ujarnya. “Kematian tidak mengenal umur, dan tidak dapat diukur dengan umur..” ujarnya lagi.
Dengan suara ngeri aku menjawab ucapannya di tengah ruang mushalanya yang gelap: “Sesungguhnya aku takut dengan kegelapan, sekarang engkau malah menakut-nakutiku dengan kematian, bagaimana sekarang aku bisa tidur? Aku kira sebelumnya, engkau bersedia untuk bepergian bersamaku dalam liburan ini.”
Tiba-tiba suaranya terisak dan hatiku pun trenyuh: “Kemungkinan, pada tahun ini aku akan bepergian jauh, ke negeri lain… Kemungkinan wahai Hanna… Umur itu di tangan Allah… Dan meledaklah tangisnya.
Aku merenung ketika ia terserang penyakit ganas. Para dokter secara berbisik memberitahukan kepada ayahku bahwa penyakitnya itu tidak akan membuatnya bertahan hidup lama. Tetapi siapa gerangan yang memberitahukan hal itu kepadanya? Atau ia memang sudah menanti-nantikan kejadian ini?
“Apa yang sedang engkau fikirkan?” Terdengar suaranya, kali ini begitu keras. “Apakah engkau meyakini bahwa aku menyatakan hal itu karena aku sedang sakit? Tidak sama sekali. Bahkan mungkin umurku bisa lebih panjang dari orang-orang yang sehat. Dan engkau sampai kapan masih bisa hidup? Mungkin dua puluh tahun lagi. Mungkin juga empat puluh tahun lagi. Kemudian apa yang terjadi?” Tangannya tampak bersinar di tengah kegelapan, dan dihentakkan dengan keras.
Tak ada perbedaan antara kita semua. Masing-masing kita pasti akan pergi meninggalkan dunia ini; menuju Surga atau Neraka… Tidakkah engkau menyimak firman Allah:
“Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung?” (Ali Imran: 185)
Semoga pagi ini engkau baik-baik saja…
Dengan bergegas aku berjalan meninggalkannya, sementara suaranya mengetuk telingaku: “Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu. Jangan lupa shalat.”
Jam delapan pagi, aku mendengar ketukan pintu. Ini bukan waktu kebiasaanku untuk bangun. Terdengar suara tangis dan hiruk pikuk… Apa yang terjadi?
Kondisi Nurah semakin parah. Ayahku segera membawanya ke rumah sakit. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Tidak ada tamasya pada tahun ini. Sudah ditakdirkan aku untuk tinggal di rumah saja tahun ini. Pada jam satu waktu Zhuhur, ayahku menelepon dari rumah sakit: “Kalian bisa menjenguknya sekarang, ayo lekas!”
Ibuku memberitahukan, bahwa ucapan ayahku terdengar gelisah dan suaranya juga terdengar berubah… Jubah panjangku kini sudah berada di tanganku..
Mana sopirnya? Kami pun naik mobil dengan tergesa-gesa. Mana jalan yang biasa kulalui bersama sopirku untuk tamasya yang biasanya terasa pendek? Kenapa sekarang terasa jauh sekali…, jauuuh sekali?! Mana lagi keramaian yang menyenangkan diriku agar aku bisa menengok ke kiri dan ke kanan? Kenapa sekarang terasa menyebalkan dan menyusahkan?
Ibuku berada di sampingku sedang mendoakan saudariku tersebut. Ia adalah wanita yang shalihah dan taat. Aku tidak pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu sedikitpun…
Kamu masuk melewati pintu keluar rumah sakit… Terdengar suara orang sakit mengaduh. Ada lagi orang yang tertimpa musibah kecelakaan mobil. Ada pula orang yang kedua matanya bolong… Tak diketahui lagi, apakah ia masih penduduk dunia, atau penduduk akhirat? Sungguh pemandangan yang mengherankan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya…
Kami menaiki tangga dengan cepat… Ternyata dia berada di dalam kamar gawat darurat. Saya akan mengantar kalian kepadanya… Perawat meneruskan perkataannya bahwa ia seorang putri yang baik sekali, dan dia menenangkan ibuku: “Sesungguhnya dia dalam keadaan baik setelah tadi mengalami pingsan…”
“Dilarang masuk lebih dari satu orang.” Demikian tertulis. “Ini kamar gawat darurat.”
Melalui sela-sela beberapa orang dokter dan melalui celah-celah jendela kecil yang terdapat di kamar tersebut, aku melihat dengan kedua mata kepalaku sendiri saudariku Nurah sedang memandang ke arahku, sementara ibu berdiri di sampingnya… Setelah dua menit kemudian, ibuku keluar tanpa bisa menahan air matanya…
Mereka mengizinkanku masuk dan memberi salam kepadanya, dengan syarat, tidak boleh banyak berbicara kepadanya. “Dua menit, sudah cukup untuk saudari.”
“Bagaimana kabarmu wahai Nurah?” tanyaku. Kemarin sore engkau baik-baik saja, apa yang terjadi pada dirimu?! Dia menjawabku setelah terlebih dahulu menekan tanganku. “Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja…” Ujarnya lagi. “Alhamdulillah… tetapi tanganmu dingin?” Tanyaku..
Aku duduk di sisi pembaringannya sambil mengelus-elus betisnya. Namun ia menyingkirkan betisnya dariku… “Maaf, kalau aku mengganggumu… Oh tidak, aku hanya sedang memikirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau..” (Al-Qiyaamah: 29-30)
Hendaknya engkau mendoakanku wahai saudariku Hanna, bisa jadi sebentar lagi aku akan menghadapi permulaan alam Akhirat… Perjalananku akan panjang, sementara bekalku amat sedikit…
Air mataku kontan berderai dari kedua belah mataku begitu aku mendengar ucapannya. Aku menangis, tidak lagi sadar di mana aku berada. Kedua mataku terus mengalirkan air mata karena tangisan, sehingga ayahku justru lebih mengkhawatirkan kondisiku daripada Nurah sendiri. Mereka sama sekali tidak terbiasa mendengar tangisan ini dan mengurung diri di kamarku.
Seiring tenggelamnya matahari, di hari yang penuh kedukaan… Munculah keheningan panjang di rumah kami… Tiba-tiba masuklah saudari sepupu dari pihak ibuku dan saudari sepupu dari pihak ayahku.
Kejadian-kejadian yang sangat cepat… Orang-orang banyak berdatangan. Suara-suara ributpun terdengar bersahutan. Hanya satu yang aku ketahui: Nurah telah meninggal dunia.
Aku tidak dapat lagi membedakan siapa yang datang. Aku juga tidak mengetahui lagi apa yang mereka ucapkan….
Ya Allah. Di mana aku, dan apa yang sedang terjadi? Menangispun, aku sudah tidak sanggup lagi.
Setelah itu mereka memberitahuku bahwa ayahku menarik tanganku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada saudariku, untuk terakhir kalinya. Aku juga sempat menciumnya. Aku hanya ingat satu hal: ketika aku melihatnya ditutupkan, di atas pembaringan maut. Aku ingat akan kata-katanya: “Ketika betis-betis bertautan,” aku pun mengerti, bahwa: “semuanya tergiring menuju Rabbmu..”
Aku tidak ingat lagi bahwa aku pernah mengunjungi mushalanya, kecuali pada malam itu saja… Yakni ketika aku teringat, siapa yang menjadi pasanganku di rahim ibuku. Karena kami adalah dua anak kembar. Aku ingat, siapa yang selalu menemaniku dalam kedukaan. Aku ingat, siapa yang selalu menghilangkan kegundahanku. Siapa pula yang mendoakan diriku untuk mendapatkan petunjuk? Siapa pula yang berlinang air matanya sepanjang malam, ketika ia mengajakku berbicara tentang kematian, dan tentang hari hisab. Allah-lah yang menjadi tempat memohon pertolongan.
Inilah hari pertamanya di alam kubur. Ya Allah, berikanlah rahmat kepadanya di dalam kuburnya. Ya Allah berilah dia cahaya di dalam kuburnya.
Ini dia mushaf Al-Qur’annya, dan ini sajadahnya. Ini dan ini lagi. Bahkan ini, ini adalah rok merahnya yang pernah dia nyatakan: akan kusimpan, untuk hari pernikahanku nanti!!
Aku juga ingat, dan aku pun menangisi hari-hari yang telah berlalu itu. Aku terus saja menangis dan menangis berkepanjangan. Aku berdoa kepada Allah, agar memberi rahmat-Nya kepadaku, memberi taubat dan mengampuni diriku. Aku juga berdoa semoga saudariku itu mendapatkan keteguhan dalam kuburnya, sebagaimana juga yang sering menjadi doanya.
Secara tiba-tiba, aku bertanya kepada diriku sendiri: Bagaimana bila yang meninggal dunia adalah diriku? Kemana kira-kira tempat kembaliku? Aku tidak mampu mencari jawaban karena besarnya rasa takut yang mencekam diriku. Meledaklah tangisku dengan keras…
Allahu Akbar, Allahu Akbar. Adzan Shubuh pun berkumandang. Namun betapa merdunya terdengar kali ini.
Aku merasakan ketenangan dan ketentraman. Aku pun mengulangi apa yang diucapkan oleh sang muadzin. Aku melipat selimutku dan berdiri tegak untuk melaksanakan shalat Shubuh. Aku shalat, bagaikan orang yang melakukannya untuk terakhir kali, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh saudariku dahulu. Dan ternyata, itu memang shalatnya yang terakhir.
Bila datang waktu sore, aku tidak lagi menunggu waktu pagi. Dan bila datang waktu pagi, aku tidak lagi menunggu waktu sore…
Sumber: Buku Perjalanan Menuju Hidayah. by Agus Supriatna
Tempat singgah mana yang mereka singgahi
Sang negeri menjawab: Carilah dalam kubur mereka sendiri,
Mereka menghadap Allah dengan amalan mereka pribadi
Saudariku tampak pucat dan kurus. Namun sebagaimana kebiasaannya, ia tetap membaca Al-Qur’an…
Jika engkau mencarinya, pasti akan mendapatinya di tempat shalatnya, sedang rukuk, sujud dan mengangkat kedua tangannya ke atas langit… Demikianlah setiap pagi dan petang, juga di tengah malam buta, tak pernah berhenti dan tak pernah merasa bosan.
Sementara aku amat gemar membaca majalah-majalah seni dan buku-buku yang berisi cerita-cerita. Saya juga biasa menonton video, sampai aku dikenal sebagai orang yang keranjingan nonton. Orang yang banyak melakukan satu hal, pasti akan ditandai dengan perbuatan itu.
Aku tidak menjalankan kewajibanku dengan sempurna. Aku juga bukan orang yang melakukan shalat dengan rutin.
Setelah aku mematikan video player, setelah selama tiga jam aku menonton berbagai macam film berturut-turut, terdengarlah adzan dari masjid sebelah..
Aku pun kembali ke pembaringanku. Wanita itu memanggilku dari arah mushalanya. “Apa yang engkau inginkan wahai Nurah?” tanyaku. Dengan suara tajam saudariku itu berkata kepadaku: “Janganlah engkau tidur sebelum engkau menunaikan shalat Shubuh!” “Ah. Masih tersisa satu jam lagi, yang engkau dengar tadi itu baru adzan pertama…”
Dengan suaranya yang penuh kasih -demikianlah sikapnya selalu sebelum terserang penyakit parah dan jatuh terbaring di atas kasurnya- saudariku itu kembali memanggil: “Mari sini Hanna, duduklah di sisiku.” Sungguh aku sama sekali tidak dapat menolak permintaannya, yang menunjukkan karakter asli dan kejujurannya… Tidak diragukan lagi, dengan pasrah, kupenuhi panggilannya.
“Apa yang engkau inginkan?” tanyaku. “Duduklah.” ujarnya. Aku pun duduk. “Apa gerangan yang akan engkau utarakan?” Dengan suara renyah dan merdu, ia berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Masing-masing jiwa akan mati. Sesungguhnya kalian hanya akan dipenuhi ganjaran kalian di hari Kiamat nanti…” (Ali Imran: 185)
Dia diam sesaat. Kemudian ia bertanya kepadaku: “Apakah engkau percaya pada kematian?” “Tentu saja aku percaya.” jawabku. “Apakah engkau percaya bahwa engkau akan dihisab terhadap perbuatan dosa besar maupun kecil…?” “Benar. Tetapi Allah itu Maha Pengampun, dan umur itu juga panjang..” jawabku.
“Wahai saudariku! Tidakkah engkau takut akan mati mendadak? Lihatlah si Hindun yang lebih kecil darimu. Ia tewas dalam kecelakaan mobil. Juga si Fulanah dan si Fulanah.” ujarnya. “Kematian tidak mengenal umur, dan tidak dapat diukur dengan umur..” ujarnya lagi.
Dengan suara ngeri aku menjawab ucapannya di tengah ruang mushalanya yang gelap: “Sesungguhnya aku takut dengan kegelapan, sekarang engkau malah menakut-nakutiku dengan kematian, bagaimana sekarang aku bisa tidur? Aku kira sebelumnya, engkau bersedia untuk bepergian bersamaku dalam liburan ini.”
Tiba-tiba suaranya terisak dan hatiku pun trenyuh: “Kemungkinan, pada tahun ini aku akan bepergian jauh, ke negeri lain… Kemungkinan wahai Hanna… Umur itu di tangan Allah… Dan meledaklah tangisnya.
Aku merenung ketika ia terserang penyakit ganas. Para dokter secara berbisik memberitahukan kepada ayahku bahwa penyakitnya itu tidak akan membuatnya bertahan hidup lama. Tetapi siapa gerangan yang memberitahukan hal itu kepadanya? Atau ia memang sudah menanti-nantikan kejadian ini?
“Apa yang sedang engkau fikirkan?” Terdengar suaranya, kali ini begitu keras. “Apakah engkau meyakini bahwa aku menyatakan hal itu karena aku sedang sakit? Tidak sama sekali. Bahkan mungkin umurku bisa lebih panjang dari orang-orang yang sehat. Dan engkau sampai kapan masih bisa hidup? Mungkin dua puluh tahun lagi. Mungkin juga empat puluh tahun lagi. Kemudian apa yang terjadi?” Tangannya tampak bersinar di tengah kegelapan, dan dihentakkan dengan keras.
Tak ada perbedaan antara kita semua. Masing-masing kita pasti akan pergi meninggalkan dunia ini; menuju Surga atau Neraka… Tidakkah engkau menyimak firman Allah:
“Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung?” (Ali Imran: 185)
Semoga pagi ini engkau baik-baik saja…
Dengan bergegas aku berjalan meninggalkannya, sementara suaranya mengetuk telingaku: “Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu. Jangan lupa shalat.”
Jam delapan pagi, aku mendengar ketukan pintu. Ini bukan waktu kebiasaanku untuk bangun. Terdengar suara tangis dan hiruk pikuk… Apa yang terjadi?
Kondisi Nurah semakin parah. Ayahku segera membawanya ke rumah sakit. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Tidak ada tamasya pada tahun ini. Sudah ditakdirkan aku untuk tinggal di rumah saja tahun ini. Pada jam satu waktu Zhuhur, ayahku menelepon dari rumah sakit: “Kalian bisa menjenguknya sekarang, ayo lekas!”
Ibuku memberitahukan, bahwa ucapan ayahku terdengar gelisah dan suaranya juga terdengar berubah… Jubah panjangku kini sudah berada di tanganku..
Mana sopirnya? Kami pun naik mobil dengan tergesa-gesa. Mana jalan yang biasa kulalui bersama sopirku untuk tamasya yang biasanya terasa pendek? Kenapa sekarang terasa jauh sekali…, jauuuh sekali?! Mana lagi keramaian yang menyenangkan diriku agar aku bisa menengok ke kiri dan ke kanan? Kenapa sekarang terasa menyebalkan dan menyusahkan?
Ibuku berada di sampingku sedang mendoakan saudariku tersebut. Ia adalah wanita yang shalihah dan taat. Aku tidak pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu sedikitpun…
Kamu masuk melewati pintu keluar rumah sakit… Terdengar suara orang sakit mengaduh. Ada lagi orang yang tertimpa musibah kecelakaan mobil. Ada pula orang yang kedua matanya bolong… Tak diketahui lagi, apakah ia masih penduduk dunia, atau penduduk akhirat? Sungguh pemandangan yang mengherankan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya…
Kami menaiki tangga dengan cepat… Ternyata dia berada di dalam kamar gawat darurat. Saya akan mengantar kalian kepadanya… Perawat meneruskan perkataannya bahwa ia seorang putri yang baik sekali, dan dia menenangkan ibuku: “Sesungguhnya dia dalam keadaan baik setelah tadi mengalami pingsan…”
“Dilarang masuk lebih dari satu orang.” Demikian tertulis. “Ini kamar gawat darurat.”
Melalui sela-sela beberapa orang dokter dan melalui celah-celah jendela kecil yang terdapat di kamar tersebut, aku melihat dengan kedua mata kepalaku sendiri saudariku Nurah sedang memandang ke arahku, sementara ibu berdiri di sampingnya… Setelah dua menit kemudian, ibuku keluar tanpa bisa menahan air matanya…
Mereka mengizinkanku masuk dan memberi salam kepadanya, dengan syarat, tidak boleh banyak berbicara kepadanya. “Dua menit, sudah cukup untuk saudari.”
“Bagaimana kabarmu wahai Nurah?” tanyaku. Kemarin sore engkau baik-baik saja, apa yang terjadi pada dirimu?! Dia menjawabku setelah terlebih dahulu menekan tanganku. “Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja…” Ujarnya lagi. “Alhamdulillah… tetapi tanganmu dingin?” Tanyaku..
Aku duduk di sisi pembaringannya sambil mengelus-elus betisnya. Namun ia menyingkirkan betisnya dariku… “Maaf, kalau aku mengganggumu… Oh tidak, aku hanya sedang memikirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau..” (Al-Qiyaamah: 29-30)
Hendaknya engkau mendoakanku wahai saudariku Hanna, bisa jadi sebentar lagi aku akan menghadapi permulaan alam Akhirat… Perjalananku akan panjang, sementara bekalku amat sedikit…
Air mataku kontan berderai dari kedua belah mataku begitu aku mendengar ucapannya. Aku menangis, tidak lagi sadar di mana aku berada. Kedua mataku terus mengalirkan air mata karena tangisan, sehingga ayahku justru lebih mengkhawatirkan kondisiku daripada Nurah sendiri. Mereka sama sekali tidak terbiasa mendengar tangisan ini dan mengurung diri di kamarku.
Seiring tenggelamnya matahari, di hari yang penuh kedukaan… Munculah keheningan panjang di rumah kami… Tiba-tiba masuklah saudari sepupu dari pihak ibuku dan saudari sepupu dari pihak ayahku.
Kejadian-kejadian yang sangat cepat… Orang-orang banyak berdatangan. Suara-suara ributpun terdengar bersahutan. Hanya satu yang aku ketahui: Nurah telah meninggal dunia.
Aku tidak dapat lagi membedakan siapa yang datang. Aku juga tidak mengetahui lagi apa yang mereka ucapkan….
Ya Allah. Di mana aku, dan apa yang sedang terjadi? Menangispun, aku sudah tidak sanggup lagi.
Setelah itu mereka memberitahuku bahwa ayahku menarik tanganku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada saudariku, untuk terakhir kalinya. Aku juga sempat menciumnya. Aku hanya ingat satu hal: ketika aku melihatnya ditutupkan, di atas pembaringan maut. Aku ingat akan kata-katanya: “Ketika betis-betis bertautan,” aku pun mengerti, bahwa: “semuanya tergiring menuju Rabbmu..”
Aku tidak ingat lagi bahwa aku pernah mengunjungi mushalanya, kecuali pada malam itu saja… Yakni ketika aku teringat, siapa yang menjadi pasanganku di rahim ibuku. Karena kami adalah dua anak kembar. Aku ingat, siapa yang selalu menemaniku dalam kedukaan. Aku ingat, siapa yang selalu menghilangkan kegundahanku. Siapa pula yang mendoakan diriku untuk mendapatkan petunjuk? Siapa pula yang berlinang air matanya sepanjang malam, ketika ia mengajakku berbicara tentang kematian, dan tentang hari hisab. Allah-lah yang menjadi tempat memohon pertolongan.
Inilah hari pertamanya di alam kubur. Ya Allah, berikanlah rahmat kepadanya di dalam kuburnya. Ya Allah berilah dia cahaya di dalam kuburnya.
Ini dia mushaf Al-Qur’annya, dan ini sajadahnya. Ini dan ini lagi. Bahkan ini, ini adalah rok merahnya yang pernah dia nyatakan: akan kusimpan, untuk hari pernikahanku nanti!!
Aku juga ingat, dan aku pun menangisi hari-hari yang telah berlalu itu. Aku terus saja menangis dan menangis berkepanjangan. Aku berdoa kepada Allah, agar memberi rahmat-Nya kepadaku, memberi taubat dan mengampuni diriku. Aku juga berdoa semoga saudariku itu mendapatkan keteguhan dalam kuburnya, sebagaimana juga yang sering menjadi doanya.
Secara tiba-tiba, aku bertanya kepada diriku sendiri: Bagaimana bila yang meninggal dunia adalah diriku? Kemana kira-kira tempat kembaliku? Aku tidak mampu mencari jawaban karena besarnya rasa takut yang mencekam diriku. Meledaklah tangisku dengan keras…
Allahu Akbar, Allahu Akbar. Adzan Shubuh pun berkumandang. Namun betapa merdunya terdengar kali ini.
Aku merasakan ketenangan dan ketentraman. Aku pun mengulangi apa yang diucapkan oleh sang muadzin. Aku melipat selimutku dan berdiri tegak untuk melaksanakan shalat Shubuh. Aku shalat, bagaikan orang yang melakukannya untuk terakhir kali, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh saudariku dahulu. Dan ternyata, itu memang shalatnya yang terakhir.
Bila datang waktu sore, aku tidak lagi menunggu waktu pagi. Dan bila datang waktu pagi, aku tidak lagi menunggu waktu sore…
Sumber: Buku Perjalanan Menuju Hidayah. by Agus Supriatna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar