Assalamualaikum wr.wb
Sahabatku rahimakumullah,
Dalam satu bulan ke depan 220 ribu jamaah haji Indonesia akan menuju Tanah suci, dimana diantaranya mungkin Anda yang membaca tulisan ini atau sahabat2 Anda, tetangga, orangtua dll. Terlampir di bawah ini adalah tulisan Ulama seri ke# 4tentang “Makna Haji” yang merupakan ringkasan dari Buku Dr. Ali syari’ati yang sangat terkenal dan jadi best seller di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Arab, Inggris dan Indonesia. Dalam bahasa Inggris berjudul Hajj, sedangkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “Makna Haji” .
Dr. Ali Syariati lahir pada 24 November 1933. Ia meraih gelar doktornya pada 1963 dari Universitas Sorbonne, Prancis. Selama hidupnya, ia mengabdikan dirinya untuk membangunkan masyarakat Islam dari belenggu kezaliman. Ia syahid di London, Inggris, pada 19 Juni 1977.
Selamat menjalankan ibadah haji (bagi yang menjalankan), semoga menjadi haji yg mabrur. Untuk sahabatku yang belum berhaji, semoga segera berhaji di tahun-tahun mendatang. Amiin
Semoga bermanfaat n matur syukran.
Wassalam, IPH (Gus Im)
==========================================================
Makna Haji
Dr. Ali Syari’ati
Sahabatku rahimakumullah,
Menurut Dr, Ali Syariati, ibadah haji bukan hanya sekadar ibadah ritual dengan memakai ihram, melakukan tawaf (mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh putaran), sai (berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah), melempar jumrah (dengan batu kerikil ke tiang jamarah), wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah, lalu bertahalul (memotong rambut).
Bagi Dr. Ali Syariati, ibadah haji adalah gambaran kehidupan umat manusia pada masa lalu, sekarang, dan pada masa yang akan datang, yakni di akhirat kelak. Semuanya telah diatur sesuai dengan skenario, yang sutradaranya adalah Allah SWT. Aktor dan aktrisnya adalah Adam, Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Dan, tokoh antagonisnya adalah setan. Setting tiap adegan meliputi Masjidil Haram, wilayah Makkah, Shafa dan Marwah, Arafah, serta Mina. Sedangkan, latar waktu pertunjukkannya yaitu siang, malam, dan petang. Lantas, siapakah aktor utama yang menjadi penentu pertunjukan sukses itu di saat sekarang ini? Tak lain adalah tiap-tiap jamaah haji.
Setiap Muslim yang berhajilah yang akan melakukan pementasan ini. Umat Islam yang datang dari penjuru dunia turut bergabung dalam aksi pementasan kolosal tersebut.Masing-masing mempunyai peran yang sama. Perbedaan suku, warna kulit, dan daerah atau negara tak lantas membedakan lakon yang harus diperankan. Aturan ini sesuai dengan prinsip kesetaraan dan persamaan antarindividu dalam Islam. Oleh karena itu, hal terpenting yang harus dilakukan oleh Muslim yang hendak berhaji adalah melepaskan hasrat duniawi dan menggantinya dengan semangat mencari rida Allah.
Sahabatku rahimakumullah,
Sebelum berangkat haji, kita harus “menggugat terlebih dahulu” niat, bekal dan perilaku jiwa kita dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
Sudah benarkah niat kita?
Halalkah uang yang kita gunakan untuk membiayai keberangkatan kita?
Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, atukah jiwa yang hendak “memperalat” Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan? Ataukah haji sekadar memperpanjang gelar yang kita sandang?
Sudahkah kita selami jiwa kita dan membunuh tikus-tikus busuk yang ada di dalamnya?
Dan sudahkah kita selami pula hakikat haji untuk kemudian kita biarkan keagungan-Nya bersemayam dalam jiwa kita, dan memancar jauh ke dalam relung kehidupan sebagaimana dulu Nabi Ibrahim as?
Dr. Ali Syariati, cendikiawan muslim Iran dalam bukunya yang terkenal dan best seller “Makna Haji” melalui ketajaman analisanya, mengajak kita untuk menyelami makna tasawuf ibadah haji. Ia menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh makna, bukan yang hampa tak bermakna, sehingga setelah kita menunaikan ibadah haji, kita telah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya ibadah haji kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji, tidak lebih!
Sahabatku rahimakumullah
Allah swt berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Mahakaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam.”(Q.S. Ali Imran [3]: 97)
Haji adalah ibadah yang memiliki hikmah dan rahasia, serta kedudukan penting dalam ajaran Islam.
Haji memiliki faedah dan hikmah yang banyak. Antaranya haji itu sebagai alat penghapus dosa. Hal ini dikatakan oleh Rasulullah: "Barang siapa yang pergi haji dan dia tidak mengeluarkan kata-kata keji serta tidak melakukan perbuatan dosa, maka akan diampunkan dosa-dosanya seperti dia baru dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah dan at-Tirmizi daripada Abu Hurairah).
Selain itu, doa orang yang melaksanakan ibadah haji dapat mengampunkan dosa orang yang didoakannya. Artinya, haji itu menjadi alat untuk mengampunkan dosa dan mengampunkan dosa orang lain. Hal ini dinyatakan Rasulullah dalam sabdanya: “Dosa orang yang menunaikan ibadah haji diampunkan Allah, dan Allah juga mengampunkan orang yang didoakan oleh orang yang menunaikan ibadah haji.” (HR. Tabrani dan Hakim).
Pada hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukan tentang ‘penciptaan’, ‘sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.
Haji merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.
Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik.
Semua itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan universal. Dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Haji juga perhimpunan agung sesama Muslim dari berbagai penjuru dunia. Mereka melaksanakan ibadah yang sama menghadap ke arah kiblat yang sama. Keadaan seperti ini akan menimbulkan sikap perpaduan serta persaudaraan.
Jemaah haji pergi menuju Mekkah dengan hanya berbekal barang-barang terbatas. Di tanah air masing-masing mereka memiliki keluarga, rumah, kendaraan, kebun, ladang dan sebagainya. Tetapi, ketika pergi haji, semua itu mereka tinggalkan. Mereka pergi dengan hanya berbekal beberapa helai pakaian dan keperluan tertentu.
Ini gambaran kecil bahwa ketika meninggalkan alam ini, manusia juga tidak membawa apa-apa. Meninggalkan sanak saudara. Harta benda menjadi hak ahli waris yang ditinggalkan. Hanya iman dan amal yang menjadi bekal dalam menghadapi perjalanan panjang di akhirat.
Pada masa ihram, jemaah haji hanya memakai dua helai kain putih sebagai penutup badan dan pelindung pada waktu panas dan dingin. Mereka dilarang memakai pakaian berjahit. Tidak melihat yang kaya atau miskin, jenderal atau koperal, mereka tetap memakai pakaian yang sama.
Antara hikmah yang tersimpan daripada pakaian ihram adalah persamaan. Pada mata Allah tidak ada perbedaan antara seorang hamba dengan hamba yang lain. Tidak beda Raja dengan rakyat jelata, tidak beda antara Jenderal dengan Kopral dll. Hanya takwa yang menjadi pemisah dan pembeda, seperti firman-Nya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah mereka yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujuraat : 13).
Di samping itu, ihram menjadi gambaran bahwa pada saat meninggalkan alam fana ini, meskipun memiliki pakaian, bahkan harta yang banyak, yang dipakai hanya beberapa lapis kain kafan sebagai penutup badan ketika berada dalam kubur.
Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai dngan niat, perbedaan-perbedaan status sosial dlsb tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.
Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Seorang yang berihram akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Selepas ihram, melaksanakan tawaf. Di Baitullah ini kita menjadi tamu Allah SWT. Thawaf merupakan sarana pertemuan kita sebagai tamu dengan Sang Khaliq, dengan mengelilingi ka’bah disertai dengan dzikir dan berdoa dengan khusuk.
Ka’bah menjadi pusaran dan pusat peribadatan kita kehadirat Allah SWT, karena thawaf identik dengan sholat dimana kita berkomunikasi secara langsung dengan Allah SWT.
Putaran thawaf sebanyak 7 kali merefleksikan rotasi bumi terhadap matahari yang menandai putaran terjadinya kisaran waktu, siang dan malam, yang menunjukkan waktu, hari, bulan dan tahun.
Thawaf (mengelilingi Ka'bah), menurut Dr. ALi Syari'ati adalah subsistem ritual haji yang menggambarkan penjabaran tauhid dengan simbol Ka'bah sebagai pusat konsistensi dan kekokohan. Ka'bah adalah simbol Tuhan dan lautan manusia di sekelilingnya adalah simbol aktivisme umat manusia. Keduanya (Ka'bah dan manusia) berjarak tetapi tidak dapat berpisah. Dalam gemuruh thawaf, komunitas umat manusia disatukan dalam pola yang sama dan sederajat.
Warna pakaian dan polanya sama. Di dalamnya tidak ada identifikasi individual; tidak dapat membedakan yang perempuan dan laki-laki, berkulit hitam dan berkulit putih, berbadan besar dan berbadan kecil. Inilah transformasi seoarang manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua "aku" bersatu menjadi "kita" yang merupakan "ummah" dengan tujuan sama; menghampiri Allah. Di luar Ka'bah seoarang manusia dikenal dengan nama, bangsa, atau rasnya. Tetapi ketika berada di Ka'bah ciri-ciri tersebut digantikan dengan konsep totalitas dan universalitas. Jadi yang melakukan thawaf adalah "orang-orang" yang mewakili "keseluruhan umat manusia".
Aktivitas thawaf dengan demikian, mewartakan bahwa dimata Allah, perbedaan duniawi tidaklah berarti. Pluralitas baru akan dirasakan hikmahnya justru ketika berada dalam kebersamaan yang padu dan tunduk dalam sebuah kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan yang memancarkan energi kebenaran universal
Dalam thawaf, jamaah Haji berlari-lari kecil atau berjalan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Berlari mengelilingi Ka’bah antara ratusan ribu manusia bukanlah hal yang mudah. Pada saat itu, jemaah akan didorong, terhimpit dan terinjak, bahkan ada yang meninggal dunia karena tidak mampu menahan gelombang manusia.
Hanya sikap hati-hati dan sabar serta mengharap pertolongan daripada Allah yang dapat menyelamatkan jemaah daripada kejadian tidak diinginkan.
Apa yang berlaku pada saat tawaf adalah gambaran kecil daripada keadaan yang akan ditempuh ketika berada di akhirat nanti. Pada saat itu, manusia tidak dapat bergantung kepada orang lain. Hanya amal dan pertolongan daripada Allah dan syafaat Rasulullah yang dapat membantu.
Dalam thawaf, kita akan didorong dan terhimpit hingga susah bagi kita untuk selalu mendekat ke Ka’bah. Terkadang kita mendekat ke Ka’bah, terkadang kita menjauh dari Ka’bah. Ka’bah Ibarat Tuhan, begitulah diri kita, dalam menjalani kehidupan terkadang kita dekat dengan Tuhan, terkadang kita menjauh dari-Nya.
Puncak daripada pelaksanaan haji adalah wukuf di Arafah. Ulama bersepakat mengatakan bahwa wukuf di Arafah adalah rukun haji yang terpenting. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Haji itu adalah Arafah.” (HR. Ahmad).
Di Arafah, manusia berhimpun di bawah terik panas matahari yang membakar kulit. Mereka masih memakai pakaian ihram yang sekadar menutup badan. Pada waktu itu, setiap orang akan merasakan bagaimana penderitaan yang pernah dialami oleh sahabat ketika berperang atau berdakwah diatas terik panas matahari.
Keadaan di Arafah ini juga sebenarnya gambaran kecil daripada suasana di Padang Mahsyar. Di mana manusia tidak dapat berlindung dan bernaung. Tidak ada tempat untuk meminta pertolongan. Hanya amal dan takwa serta naungan daripada Allah dan syafaat rasul-Nya yang akan menjadi pelindung.
Apabila semua rahasia dan hikmah ini disadari, maka apa pun yang dihadapi ketika berada di Tanah Suci akan dilalui dengan sabar, seraya memohon ampunan dan perlindungan dari Allah. Kita juga mengharapkan ihsan-Nya agar haji yang dilaksanakan menjadi haji mabrur.
Sebagai tamu Allah, jemaah haji sewajarnya menyerahkan dirinya kepada Allah dengan ikhlas dan meninggalkan segala beban pemikiran yang mungkin merusak kekhusyuan dalam beribadah. Mereka berangkat menuju Tanah Suci seolah-olah sedang berjalan memenuhi panggilan Ilahi ketika meninggalkan alam fana ini. Datang dengan niat dan hati yang suci semata-mata mencari keridhaan Ilahi.
Perjalanan Haji bukanlah suatu perjalanan piknik untuk sebuah kepuasan duniawi, justru kepuasan duniawi terkorbankan dalam rangka mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi.
Haji dalam Islam memiliki nilai plus, yaitu dengan terbitnya kepuasan jiwa dan perasaan semakin dekat dengan sang Pencipta. Perasaan dekat ini melebihi cintanya pada harta, tahta, keluarga dan saudara. Bahkan ketika seorang hamba menginjakkan kaki dari tempat tinggalnya menuju rumah Allah (Baitullah), ia sudah berniat untuk bebas dari belenggu yang mengikatnya, hatinya tunduk kepada Yang Maha Kuasa, sehingga ia merasa bahwa dunia dan isinya, luluh dan rapuh di hadapanNya. Dengan ungkapan “Labbaika Allahumma Labbaika (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah)”, seorang hamba telah menancapkan bendera syukur atas karunia yang melimpah-ruah. Dan Maha Besar Allah atas seluruh karunia-Nya.
Kalau umat Islam menghadap kiblat (ka'bah) lima kali sehari dari jarak jauh, namun pada musim haji mereka dapat melihat Ka'bah dengan mata kepala secara langsung ketika sedang memasuki Al-Baitullah al-Haram dan bertawaf di sekelilingnya, tanpa terasa air mata telah bercucuran. Cucuran air mata saat itu, bukan tanda kesedihan atau kemurungan, seperti yang terjadi dalam hidup sehari-hari, ketika ditimpa musibah misalnya. Banyak orang tidak tahu, apa sebab dan rahasia di balik peristiwa ini. Peristiwa ini merupakan sebuah ungkapan wajar, saat seseorang meninggalkan keangkuhan dan kesombongan, yang selama ini menyelimuti kehidupannya. Keadaan semacam ini kian menumbuhkan perasaan tunduk seseorang kepada Sang Pencipta, dan kehadirannya di depan Ka'bah hanya untuk menyampai kan penyesalan atas perbuatan-perbuatan yang telah dikerjakan, dengan harapan kiranya Allah mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang.
Perasaan dekat dengan Allah setiap saat, niscaya akan menjadikan tangis sebuah dinamo untuk melahirkan kebahagiaan dan kemerdekaan dari lumuran dosa. Dengan taubat yang tulus, seorang hamba enggan untuk kembali pada kejahatan. Lebih dari itu, tangis seorang hamba di depan Ka'bah merupakan barometer kuatnya iman yang mendorongnya untuk meninggalkan hal- hal yang dapat meracuni akidah dan akhlaknya.
Sesungguh nya menanggalkan rasa keangkuhan adalah kekuatan, seperti halnya memohon rahmat dan ampunan adalah kekuatan pula. Apabila dua kekuatan tersebut menyatu, keyakinan untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan menjadi semakin kokoh.
Wukuf di Arafah, Refleksi Padang Makhsyar. Di bukit yang membentang luas ini, seorang hamba diantarkan untuk membayangkan dan merenungi peristiwa yang bakal terjadi pada hari kiamat , yaitu hari dikumpulkannya kembali makhluk Allah di "Padang Makhsyar", yang merupakan terminal terakhir untuk menghitung amal baik dan buruk yang telah dikerjakan, selama di dunia. Di hadapan Allah seluruh manusia adalah sama, baik konglemerat maupun fakir miskin, semuanya akan menghadap kepada Yang Maha Esa, Allah Swt.
Jumrah Aqabah, Melawan Bisikan Setan. Haji merupakan salah satu proses pembentukan insan kamil, yang mampu melawan bisikan setan. Sebab dalam setiap gerak kehidupan, orang tak lepas dari godaan setan. Banyak contoh yang menjelaskan tentang betapa gigihnya godaan makhluk ini. Diantaranya adalah godaan terhadap manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, dan juga terhadap Nabi Ibrahim saat menjalani perintah Allah, yang kemudian beliau berusaha menghardiknya dengan cara melempari makhluk jahat tersebut. Untuk itu, melempar jumrah yang dikenal dengan Jumrah Aqabah, juga merupakan salah satu protret perlawanan terhadap setan.
Selanjutnya, sambil melempar batu kecil di Aqabah, hendaknya disertai niat untuk selalu melawan bisikan setan yang sangat membahayakan. Karenanya, dengan Jumrah Aqabah, kita berharap agar umat Islam senantiasa mampu membaca rahasia-rahasia dibalik setiap peristiwa dalam kehidupan ini. Apakah tiap muslim sudah memiliki missi dalam aktivitas kesehariannya? missinya baik atau tidak ? dan missinya bermanfaat atau tidak ? Ini sebuah pelajaran yang harus diingat.
Antar sesama manusia, ketika melaksanakan haji banyak pelajaran yang mengarah pada pembentukan persamaan derajat. Apabila seseorang di tempat tinggal nya menjadi tokoh masyarakat, pedagang kaki lima dan lain-lain, namun di musim haji mereka sama. Persamaan yang semacam ini akan lebih menciptakan suasana harmonis dan dinamis.
Sesungguhnya Allah tidak akan melihat pada wajah seorang hamba, namun melihat kepada hatinya. Hati merupakan standar derajat manusia antara satu dan yang lain. Suasana haji menciptakan keakraban yang lebih dekat dan lebih membahana di relung hati yang paling dalam. Wallahu’alam bissawab
SARAN PRIBADI
Bagi Anda yang belum atau sudah naik haji, saya sarankan untuk membaca buku “ Makna Haji” dari Dr. Ali Syari’ati ini yang melalui ketajaman analisanya, mengajak kita untuk menyelami makna haji. Melalui uraiannya yang khas dan membangkitkan semangat, kita diberitahu siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya.
Tidak kalah dahsyat pula, pandangan Ali Syariati mengenai pilar-pilar doktrin Islam dalam pengantar buku Hajj ini. Ia mengatakan, “Sejauh yang saya ketahui, dari sudut pandang praktis dan konseptual, pilar-pilar doktrin Islam terpenting yang memotivasi bangsa Muslim dan menjadikannya sadar, bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial adalah: tauhid, jihad, dan haji.”
Buku "Makna Haji" tersebut merangsang pikiran yang layak untuk dibaca!, sebagaimana sinopsis nya, "Jika Anda ingin tahu bagaimana cara haji, bacalah buku-buku fiqih. Jika Anda ingin memahami makna haji, bacalah buku ini. Barangkali membaca buku ini akan mendorong Anda memahami haji, atau setidaknya merenungkan barang sedikit tentang haji." --Ali Syariati
Wallahualam bissawab.
Bârakallâhu lî wa lakum,
Matur syukran n Terima kasih.
Semoga Bermanfaat ya
Jakarta, 20 Oktober 2010
Billahit taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum wr.wb
By : Imam Puji Hartono/IPH(Gus Im)
"Utamakan SEHAT untuk duniamu, Utamakan AKHLAK dan SHALAT untuk akhiratmu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar