SEORANG anggota jemaah-sebut saja Fatimah-mengadu kepadaku, "Setiap kali masuk Ramadhan, saya merasa sedih. Saya bertambah sedih karena saya merasa sedih. Bukankah kata Pak Ustadz, Rasulullah dan sahabatnya menyambut Ramadhan dengan gembira."
Matanya berkaca-kaca dan hidungnya memerah. Aku yakin ia menangis beneran. Betapa sering aku menemukan dalam majlis-majlis pengajian ustadz yang menangis bohongan dan pendengar yang menangis beneran.
"Apa yang menyebabkan Ibu menangis?" tanyaku.
"Saya seperti orang pulang kampung. Saya ingin membahagiakan keluarga saya. Saya ingin memberikan hadiah paling berharga buat mereka. Tetapi saya miskin. Saya tidak punya apa-apa yang berarti. Yang teronggok di punggung saya hanya kotoran. Ramadhan mengantarkan saya kepada Tuhan, kampung halamanku.
Saya ingin membuat Tuhan ridho kepadaku. Tetapi saya tidak membawa apa-apa. Di atas punggung saya teronggok dosa dan dosa!" Isakannya makin keras. Giliran ustadz untuk ikut menangis; dan kali ini, menangis beneran.Matanya berkaca-kaca dan hidungnya memerah. Aku yakin ia menangis beneran. Betapa sering aku menemukan dalam majlis-majlis pengajian ustadz yang menangis bohongan dan pendengar yang menangis beneran.
"Apa yang menyebabkan Ibu menangis?" tanyaku.
"Saya seperti orang pulang kampung. Saya ingin membahagiakan keluarga saya. Saya ingin memberikan hadiah paling berharga buat mereka. Tetapi saya miskin. Saya tidak punya apa-apa yang berarti. Yang teronggok di punggung saya hanya kotoran. Ramadhan mengantarkan saya kepada Tuhan, kampung halamanku.
"Tidak perlu bersedih, Bu," kataku setengah hati. Setengah hatiku membisu dalam kesedihan. "Jika kita menemui Ramadhan tanpa bekal, marilah kita jadikan bulan ini untuk mengumpulkan hadiah-hadiah yang berharga untuk Tuhan. Jika kita datang dengan onggokan dosa, marilah kita campakkan dosa-dosa itu dengan taubat kita."
Seperti biasa, dengan cepat aku bermetamorfosa dari seorang konselor menjadi khatib. Tampaknya lebih mudah berkhotbah daripada berempati.
"Itu juga menambah dukaku, Ustadz. Setiap Ramadhan, ketika semua orang berusaha untuk tarawih setiap malam, saya sering meninggalkannya. Ketika tetangga-tetangga bercerita bahwa mereka sudah menyelesaikan sekian juz Al-Quran, saya enggak bisa ngomong. Satu juz pun tak sempat saya baca. Pada malam Lailatul Qadar kawan-kawan saya bisa bermalam-malam iktikaf di masjid bahkan ada yang berumrah ke Tanah Suci, saya tidak sanggup meninggalkan pekerjaan saya."
"Apa pekerjaan Ibu di bulan Ramadhan?"
"Saya ini orang kaya, tumbuh besar dalam keluarga kaya. Di rumah saya punya banyak pembantu dan di kantor saya punya banyak pegawai. Ke mana pun saya pergi, saya dilayani orang. Pada bulan puasa, saya ingin melayani orang. Saya ingin berkhidmat pada orang-orang kecil. Saya menyiapkan makanan untuk orang-orang miskin. Saya berbelanja, memasak, membungkus, dan mengantarkan makanan itu ke rumah-rumah mereka. Bakda Isya, setelah usai membagikan makanan, saya pulang dalam keadaan lelah. Saya segera tidur pulas. Pada Lailatul Qadar, saya bukan saja membagikan makanan untuk buka, tetapi juga untuk sahur. Saya bergadang juga Ustadz, cuma tidak di masjid, tetapi di tempat-tempat kumuh."
"Jadi pada waktu Id, ketika kaum Muslim yang lain bergembira karena bisa mengumpulkan hadiah yang berharga untuk Tuhan-khatam Al Quran, lengkap shalat tarawih, banyak iktikaf dan berzikir-saya sedih lagi. Mereka berhasil ’menangkap’ anugerah Tuhan di bulan Ramadhan, saya tidak!"
Puasa dengan Perkhidmatan
Ibu Fatimah merasa sedih karena ibadat Ramadhan-nya berbeda dengan kebanyakan orang. Ia sedih karena tidak sanggup dan tidak sempat bertarawih, bertadarus, beriktikaf, dan berzikir bersama. Ia menganggap hadiah yang paling berharga untuk Tuhan adalah ibadat, dalam makna ritual.
Alkisah, Nabi Musa bermunajat kepada Tuhan. Sang Mahasuci bertanya, "Hai Musa, banyak sekali ibadatmu, yang mana untuk-Ku?" Musa terkejut mengapa Dia bertanya tentang ibadatnya, sebab semua ibadatnya untuk Tuhan: "Shalatku, hajiku, korbanku, doa, dan zikirku." Semuanya untuk kamu, mana untukku? Musa bingung dan berkata: "Tunjukkan pada hambamu yang lemah ini, mana ibadatku untuk-Mu!" Berkhidmatlah kepada hamba-hamba-Ku!
Bagus sekali memang kalau kita dapat menjalankan ibadat-ibadat itu dengan sebaik-baiknya. Semuanya untuk kita juga. Seperti disebutkan dalam hadis, dengan berpuasa dan shalat tarawih yang ikhlas, kita memperoleh ampunan Allah SWT. Ampunan itu jelas untuk kita. Dengan membaca satu ayat Al-Quran saja di bulan Ramadhan, kita memperoleh pahala sama dengan mengkhatam Al-Quran di bulan lain. Anugerah Tuhan karena mengkhatam Al-Quran diberikan kepada kita. Ibadat pada Lailatul Qadar sama nilainya dengan ibadat seribu bulan. Pahalanya lagi-lagi untuk kepentingan kita. Ibu Fatimah merasa sedih karena Ramadhan mengantarkannya untuk pulang kepada Tuhan. Ia ingin memberikan hadiah untuk membuat Tuhan ridho kepadanya. Ia merasa bahwa hadiah berupa shalat, tadarus, dan sebagainya itu adalah persembahan untuk Tuhan. Sekiranya ia banyak melakukan ibadat-ibadat itu, nun di sana di ‘arasy yang agung, Tuhan akan berkata: Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku. Memang kita memerlukan semua anugerah itu: kasih sayang Tuhan, ampunan-Nya, dan pembebasan dari api neraka. Kita membutuhkan karunia-Nya untuk kebahagiaan kita di dunia dan akhirat.
Namun, Ibu Fatimah memerlukan lebih dari itu. Ia ingin melakukan sesuatu untuk Dia. Ia ingin memberi-Nya hadiah yang berharga. Ketahuilah, hai Fatimah-sekiranya Anda membaca artikel ini-Anda sudah berada on the right track. Berkhidmatlah kepada hamba- hamba-Nya. Sekiranya Anda sedih karena beranggapan Anda tidak sempat shalat tarawih yang lengkap sehingga kehilangan ampunan Tuhan, simaklah hadis qudsi berikut ini (Lihat Hasan Syirazi, Kalimat Allah, hal 232):
"Hai Musa, tahukah kamu betapa besarnya kasih sayangKu padamu?"
"Engkau lebih penyayang kepadaku ketimbang ibuku."
"Hai Musa, sesungguhnya ibumu menyayangi kamu karena anugerah kasih-Ku jua. Akulah yang melembutkan hatinya sehingga ia sayang padamu. Akulah yang membaikkan hatinya supaya ia meninggalkan kebaikan tidurnya untuk merawatmu. Sekiranya aku tidak melakukannya, maka akan samalah ibumu dengan perempuan lainnya di dunia."
"Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang mempunyai dosa dan kesalahan yang begitu banyak sehingga memenuhi sudut-sudut langit. Tetapi aku tak hiraukan dosa-dosanya; semua aku ampuni."
"Mengapa tidak Kau hiraukan, ya Rabb?"
"Karena satu hal yang mulia yang Aku cintai dalam dirinya: Ia mencintai fakir miskin. Ia bergaul akrab dengan mereka. Ia menyamakan dirinya seperti mereka. Ia tidak sombong. Jika ada hambaku seperti dia, aku ampuni dia dan aku tidak hiraukan dosa-dosanya."
Puasa tanpa Perkhidmatan
Sampai di sini kita tahu bahwa Ibu Fatimah tidak selayaknya bersedih hati. Ia sudah menjalankan puasa dengan hadiah berharga untuk Tuhan: perkhidmatan. Yang harus berduka justru mereka yang berpuasa tanpa persembahan untuk Dia. Celakalah orang yang berpuasa dengan kezaliman, lawan dari perkhidmatan. Mereka bahkan tidak mendapat apa pun untuk dirinya. "Betapa banyaknya yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga," sabda Nabi Muhammad SAW. Pada bulan Ramadhan Nabi yang mulia memergoki seorang perempuan yang memaki budaknya. Ia memanggil perempuan itu dan menyuruhnya berbuka. Perempuan itu berkata: "Inni shaimah. Aku berpuasa." "Bagaimana mungkin kamu berpuasa tetapi kamu maki-maki budakmu."
Nabi mengingatkan perempuan itu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan perkhidmatan, bukan makian. Memaki hamba Allah akan menghapuskan semua pahala puasanya. Supaya puasa itu berfaedah bagi kamu, tinggalkan segala macam kezaliman, terutama pada orang kecil.
Dilaporkan kepada Nabi tentang seseorang yang selalu berpuasa di waktu siang dan bangun malam untuk shalat tetapi sering menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Ia menjawab singkat: Dia di neraka!
Ayat berikut ini ditujukan untuk orang-orang yang bersedekah di bulan puasa tetapi menyertai sedekahnya dengan kata-kata yang menyakitkan hati: "Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati sebagaimana orang yang menginfakkan hartanya untuk dipamerkan di tengah-tengah manusia…" (Al-Baqarah 264).
Orang yang shalat-baik di bulan Ramadhan maupun bukan-dan tidak melakukan perkhidmatan diancam dengan kecelakaan (neraka): Maka celakalah orang-orang yang shalat; yang lalai dalam shalatnya; yang hanya pamer saja; yang tidak memberikan pertolongan" (Al-Ma’un 5-7). Jadi, supaya semua ibadat kita di bulan Ramadhan ini mendatangkan faedah yang bernilai bagi kita, tinggalkan segala macam kezaliman. Dan supaya puasa kita menjadi persembahan yang agung bagi-Nya, sertailah semuanya dengan perkhidmatan.
"Semua makhluk adalah keluarga-Ku. Makhluk yang paling Aku cintai adalah yang paling penyayang pada makhluk yang lain, yang paling bersungguh-sungguh dalam memenuhi keperluannya" (Hadis Qudsi).
Wallahualam bissawab
(oleh K.H. Jalaluddin Rakhmat, Guru Besar Unpad, ditulis di Harian Kompas, Jum’at 15 Oktober 2004)
Imam Puji Hartono/IPH
"Utamakan SEHAT untuk duniamu, Utamakan AKHLAK dan SHALAT untuk akhiratmu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar