Seorang ibu yang masih kerabat jauh pernah bercerita pada saya tentang menantunya. “Dulu waktu belum dapat anak saya, dia baiiiiiik sekali. Ramah, suka senyum, suka cerita. Kalau datang selalu ada saja yang dibawa. Bukannya saya mengharap, tapi dia betul-betul perhatian. Dia juga rajin telepon, memperhatikan saudara-saudara…,” cerita si Ibu. Saya mendengarkan seksama.
“Eh pas udah dapat anak saya, dia berubah! Kalau ngomong ketus, nyelekit. Terus kalau anak saya beliin saya apa-apa, dia juga ngotot minta dibelikan. Anak saya harus ngumpet-ngumpet kalau mau kasih uang sama saya. Dia juga tidak mau kalau saya tinggal bersama mereka….”
Cerita Tiwik, teman saya, lain lagi. “Mertua saya itu orangnya dominan. Maunya menguasai. Jadi meski kami sudah menikah sekian lama, semuanya Ibu mertua saya yang mengatur. Kami mau tinggal dimana, ngontrak atau beli rumah juga dia yang menentukan. Saya jadi kesal. Suami seolah tak berdaya kalau di hadapan ibunya. Pokoknya ibunya bilang apa, dia nurut. Ibunya juga turut campur dalam mendidik anak kami. Apa yang saya larang, ia perbolehkan. Apa yang saya perbolehkan untuk anak-anak, ia larang. Kan kasihan anak-anak saya jadi bingung. Udah itu saya merasa ia benar-benar nggak percaya sama saya…. Pokoknya yang paling bagus dan mengerti apa saja di dunia ini ya cuma dia!”
“Kalau saya lain lagi,” tutur Ira, teman saya yang juga sahabat Tiwik. “Ibu mertua saya sangat perfeksionis tapi pelitnya luar biasa. Udah gitu, dia selalu bilang saya pelit. Di depan anaknya ia ngomong gini, tuh kan nak, coba kalau kamu belum menikah, kamu bisa lebih memperhatikan dan membiayai ibu dan adik-adikmu…, sedih kan?” Mata Ira memerah.
“Kalau yang saya alami lebih gila,” kata Indah dengan suara serak. “Kalau di depan anaknya, mertua sangat baik pada saya. Tapi begitu di belakang suami, waduh ampun deh.
Kata-katanya nyelekit dan suka sekali menyindir. Ia suka mengadu domba saya dan suami. Ia juga sering mengobral cerita apa saja yang memalukan tentang saya. Padahal saya kan menantunya sendiri. Kok tega ya?”
Saya jadi teringat masa-masa awal saya bertemu Mas Tomi. Saya tahu ia pasti sangat mencintai ibunya. Dan bagi saya, mencintai Mas Tomi berarti mencintai Ibu, adik-adik, keluarga besarnya....
“Ceritakan pada saya tentang Ibu…,” pinta saya.
Sambil terenyum ia menceritakan banyak hal tentang Sang Ibu. Seorang perempuan tradisional yang lembut, sangat perasa dan betul-betul menikmati peran sebagai ibu rumah tangga. Beliau jago memasak, pintar menjahit, ahli dalam mengurus taman dan kebun di belakang rumah mereka. “Ibu punya koleksi anggrek yang cantik, juga beternak gurame kecil-kecilan di rumah,” kata Mas.
Hmmm menarik, pikir saya. Perempuan hebat.
“Ibu sangat njawani,” tambah Mas.
Dalam hati, saya menambahkan: Itu berarti saya harus memperhatikan perbedaan kultur di antara kami. Saya yang Sumatera, Ibu yang sangat Jawa (Ibu dari Yogyakarta, Bapak Mas dari Solo, namun sudah meninggal ketika Mas kuliah tingkat III). Saya bertekad, dalam pertemuan pertama dan selanjutnya, saya akan menampilkan diri saya sebagaimana adanya, dengan tetap menghormati kultur beliau. Apalagi nih, Mas Tomi itu anak pertama, tulang punggung keluarga. Pasti banyak harapan ibu bertumpu padanya.
Begitulah. Sebelum bertemu untuk pertamakalinya dengan Ibu Mas Tomi, saya sudah mulai menitipkan salam. Saya kirimkan bahan yang saya pilih sendiri untuk beliau. Kadang oleh-oleh lainnya.
Ketika akhirnya bertemu, kami berdua tahu bahwa kami adalah dua pribadi yang sangat bertolak belakang. Tetapi apakah itu membuat kami tak bisa cocok?
“Ibu baik, tapi bukan tipe orang yang mudah mengekspresikan perasaannya. Bahkan bila ia menyayangi seseorang,” kata Mas pada saya.
Karena Ibu Mas Tomi memang cenderung pendiam, maka saya mencoba lebih aktif mendekati beliau. Pada pertemuan pertama misalnya, saya merangkulnya sambil berkata, “Ibu, nanti kalau aku nikah sama Mas, aku tidak akan menganggap ibu sebagai mertuaku….”
Ibu mengerutkan keningnya. “Kenapa?” Tanya beliau tak mengerti.
“Saya rangkul beliau lebih erat, “Ya, sebab aku akan menganggap Ibu sebagai ibuku sendiri! Pokoknya, Ibu bertambah anak, aku bertambah Ibu!”
Kami berdua tersenyum.
Setelah saya dan Mas menikah, saya berusaha memberi atensi sebisa saya pada Ibu. Mulai dari hal-hal kecil membawakannya sesuatu setiap kami mengunjunginya (bukan soal harga, tapi perhatian), hingga mengingat momen-momen penting dalam hidup Ibu. Saya pun berinisiatif membenahi semua album keluarga mereka—terutama saat bersama almarhum Bapak---agar tersusun lebih rapi dan terhindar dari jamur.
Ibu sering sekali memberi masukan, terutama soal kepiawaian sebagai istri dan bagaimana mendidik anak. Tahu sendiri, saya sama sekali tak pintar masak seperti ibu. Barangkali saya juga tak setelaten beliau dalam mengurus anak dan semacamnya. Setidaknya begitulah saya dalam pandangan Ibu.
Seringkali saya merasa sudah melakukan sesuatu secara maksimal, namun seolah masih saja “salah” di mata ibu.. Awalnya hal itu membuat saya sedikit “geregetan”, agak tersinggung dan sedih…, sering saya berusaha menyampaikan apa yang sudah saya lakukan yang saya rasakan baik padanya. Saya bahkan memberikan argumen terbaik yang saya miliki hingga Ibu hanya menjawab, “O…begitu….”
Namun lama kelamaan, saya pikir kenapa sih saya? Apa sih gunanya “melawan” ibu, menganggap saya sudah melakukan semua dengan baik. Memang apa salahnya kalau Ibu menasehati panjang lebar, lalu saya tinggal tersenyum, berterimakasih dan bilang, “Ya, Ibu. Saya akan coba, atau saya akan melakukan saran Ibu. Terimakasih ya, Bu….” Bukankah kalau ibu menasehati berarti ibu sedang memperhatikan saya. Bukankah memperhatikan berarti bentuk dari sebuah cinta?
Akhirnya itu yang saya lakukan, dan ternyata asyik!
“Terimakasih, Bu. Saya senang sekali dapat pengetahuan baru.”
“Alhamdulillah Ibu memberi tahu, jadi lain kali aku bisa lebih baik….”
“Terus, kalau kasusnya begini, baiknya aku bagaimana ya, Bu?”
“Wah Bu, saran dari Ibu aku pakai. Alhamdulillah Bu, berhasil!”
Saya juga yang selalu mengingatkan Mas bila ia sibuk dan kami lama tak mengunjungi Ibu di Sukabumi. “Mas, minggu depan ke Sukabumi yuk. Kan kita dah kangen sama Ibu….”
Selain itu kami sepakat, kalau mau ngasih sesuatu untuk ibu Mas, sayalah yang melakukan, dan kalau mau ngasih sesuatu ke mama saya, Mas yang akan memberikannya...
Lambat laun saya merasa ibu makin sayang pada saya. Ibu bahkan mulai mengurangi memberi tahu saya apapun dengan gaya para mertua pada umumnya. Ibu mulai menjadikan saya sahabat tempat curhat beliau mengenai apa saja! Kami sering menangis dan tertawa bersama. Alhamdulillah. Saya bahagia sekali.
Saya jadi ingat beberapa kali saya mendapat hadiah usai mengisi ceramah di berbagai tempat. Selain uang, kadang saya diberi peralatan rumah tangga, bahan, atau souvenir lain yang menarik. Biasanya kalau ada dua macam, pasti saya minta Ibu mertua saya untuk memilihnya lebih dulu, baru kemudian Mama. Mengapa?
“Mama kan masih ada Papa. Papa bisa belikan Mama yang lebih bagus…. Ibu kan sudah nggak ada Bapak? Nggak apa ya, Ma?” kata saya pada Mama.
Di luar dugaan, Mama memeluk saya dan mengatakan bangga sekali punya anak seperti saya. Mama bahkan bilang tak akan pernah iri pada apa yang saya lakukan terhadap Ibu.
Begitulah. Saya merasa saya memang tak memiliki dan tak memerlukan seorang Ibu mertua. Ibu dari suami saya adalah Ibu, adalah sahabat saya. Dan oh, sungguh kangen, bila sebulan saja tak bertemu beliau setelah 14 tahun perkenalan kami.
I love you much, Bu!
Bunda, engkau adalah nadi di denyut kehidupanku. Engkau adalah sekolah pertamaku, juga universitas terpadu dalam menimba ilmu.
Bunda, engkau mata air cinta yang tak pernah kering. Kau bimbing aku mengasihi yang ada di langit, juga semua yang pernah singgah di bumi. Perkataanmu selalu kuingat: “ Nak, manusia yang paling sukses adalah yang bermanfaat bagi orang banyak.”
Bunda, engkau adalah motivator yang tak pernah menyerah. Engkau terus mendorongku untuk mengambil peran-peran protagonis dalam kehidupan. Engkau memotivasi aku untuk menggerakkan, bukan menunggu digerakkan.
Suatu hari engkau berkata, “Jangan pernah berhenti membaca dan menulis, anakku.”
Aku bertanya, “Apa yang harus aku baca Bunda? Apa yang mesti kutulis?”
“Bacalah dirimu sendiri, keluargamu, sekitar, masyarakat, rupa, cuaca, semesta dan segala. Dan tulislah semua yang menyentuh nuranimu,” katamu. Engkau bimbing aku untuk tak hanya menulis di atas selembar kertas putih, namun pada akal dan hati yang paling bersih.
Bunda. Engkaulah yang dengan mata kaca mengecup semua luka yang datang, sambil membangun benteng ketabahan dalam diriku. Di kala sukses menjelang, engkau mengingatkanku untuk rendah hati serta tak lupa pada mereka yang lemah dan tertinggal di belakang. Engkaulah yang selalu terbangun di tengah malam, menjaga keluarga dan semesta dengan doa-doa.
Ah, bagaimana aku bisa semulia engkau, Bunda?
Kini waktu berlalu. Aku pun tumbuh menjadi ibu sepertimu. Sungguh, bunda, akan kudidik buah hatiku sebagaimana kau membimbingku. Bukankah aku sudah hafal rumus dalam kamusmu? Mengasihi, terus belajar, kreatif, mengambil peran protagonis dan bermanfaat bagi orang banyak.
Bundaku, perempuan tempat cinta dan ketangguhan lahir setiap hari. Bahkan berjuta kata tak akan bisa merangkaikan kekagumanku padamu.
Terimakasih, cinta abadiku: bunda…
Cinta Sejati Itu, Anakku...
Suatu hari, anakku, kau bertanya, Bunda, mengapa sebuah pernikahan bisa bertahan, dan mengapa yang lain gagal?
Maka aku pun menjawab, pernikahan yang terus bertahan dan yang tidak bertahan hanya disebabkan oleh nyala cinta. Yang bertahan terus membarakannya dengan amunisi makrifah, gairah dan kesetiaan sepanjang jiwa. Sedang yang tak bertahan membiarkan nyala itu padam bersama redupnya makrifah, gairah dan kesetiaan di antara mereka.
Jika kau mencintai seseorang, kau akan menaruhnya di tempat paling nyaman di hatimu, hingga setiap kali ia menatap matamu, ia temukan dirinya berpijar di sana. Kau tak akan pernah lelah belajar mengenali diri dan jiwanya hingga ke sumsum tulang. Hidupmu penuh gairah, tak abai sekejap pun atas keberadaannya. Maka sampailah kau pada keputusan itu: kau akan setia pada tiap nafas, getar, gerak saat bersamanya, hingga nyawa berpamitan untuk selamanya pada jasadmu. Bahkan kau masih berharap semua tak akan pernah tamat. Kau mendambakan hari di mana kau dan dia kelak dibangkitkan kembali sebagai pasangan, yang terus bergandengan tangan melintasi jalan-jalan asmara, di taman surgaNya...
Itulah cinta sejati, anakku...
By : Vicky Robiyanto
Sumber : http://helvytr.multiply.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar