Laman

Sabtu, 21 Agustus 2010

Apa Pantas berharap Surga

Shalat dhuha hanya dua rakaat, qiyamullail (tahajud) juga hanya dua
rakaat, itupun sambil terkantuk-kantuk. Shalat lima waktu? Sudah jarang di
mesjid, memilih ayatnya juga yang pendek-pendek agar lekas selesai. Tanpa
doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum
lama tergelar itu. Lupa pula denga shalat rawatib sebelum maupun sesudah
shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "kalau
tidak terlambat" atau "asal tidak bangun kesiangan". Dengan shalat model
begini, apa pantas mengaku ahli Ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya
dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki
mereka bengkak karena terlalu lama berdiri karena khusyuknya.
Kalimat-kalimat pujian dan permohonan tersusun indah seraya berharap Allah
yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika azan
berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju
sumber panggilan. Kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk
bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Membaca Al-Quran sesempatnya, itupun tanpa memahami arti dan maknanya,
apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang
mengalir dari lidah tidak sedikit pun membuat dada bergetar. Padahal
tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah,
tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari,
itupun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini
mengaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah Saw. Yang menahan napas mereka untuk
meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka
terhenti, tidak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna
terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tidak jarang
mereka hiasi mushaf (Al-Quran) ditangan mereka dengan tetes air mata.
Setiap tetes akan menjadi saksi di hadapan Allah. Lidah-lidah indahnya
akan digunakan untuk melafalkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan
pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalaupun ada, dipilih mata uang
terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik
terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti
sosial, ya hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah jarang beramal, amal yang
paling mudahpun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah
seperti ini, apa pantas berharap kebaikan dan kasih Allah?

Rasulullah Saw. Adalah manusia yang paling dirindui: senyum indahnya,
tutor lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan
semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga
bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia
senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan
kepada musuhnya sekalipun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba
beramal saleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga
sebelah kiri. Seringkali masalahnya Cuma sepele, tapi permusuhan bisa
berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah "sumpah tujuh turunan".
Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara
sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat
keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan
bencana.
Sudah demikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas
hati seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang
beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang
berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita
menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus
bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat, terhadap orangtua
kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalagi
mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tidak butuh apapun
selain sikap ramah dan penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka
besarkan dengan segenap cinta. Cinta berhias peluh, airmata, juga darah.
Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?

Dari ridha orangtualah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibulah yang
disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak
kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu? Bahkan beliau
menyebut "ibu" tiga kali sebelum kemudian "ayah."

Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat ini masih bisa mendapati
tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh
yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang
tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah
memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar
membutuhkan kehadiran mereka?

Jangan tunggu penyesalan.

Astaghfirullaah…..
" Rabbana, tak pantas ku menjadi penghuni surga, tapi tak juga kuat ku
dalam bara neraka. Maka perkenankan jiwa meminta ampunan atas nista. Sebab
Engkau pengampun yang paling Maha"

-Syair Abu Nawas-

Sumber: Milis Tetangga
-- Karena Cinta Sejati Hanya Ada Pada Kening-Kening yang Bersujud dan Jiwa yang Pasrah --



Tidak ada komentar:

Posting Komentar