Laman

Selasa, 27 Juli 2010

MENGENAI RUH

Kita tidak bisa pungkiri bahwa pengetahuan manusia dalam masalah “di luar alam nyata” (dalam istilah popoulernya Metafisika) terbatas, namun kita bisa mengetahui hal tersebut lewat penjelasan al-Qur’an dan Sunah Nabi kita. Memang ada sebagian kebanyakan ahli filsafat yang membahas ruh demikian jauh, sehingga mereka berkeyakinan bahwa ruh itu kekal.

Berangkat dari itu semua, bahwa ruh juga adalah masalah penting yang harus kita ketahui, dan inilah tujuan ditulisnya pembahas tentang ruh, insya allah agar menambah pemahaman atau setidaknya yang mengingatkan, alhasil tulisan ini semoga dapat menjadi bahan bacaan yang dapat membantu atau hanya sekedar bacaan iseng atau mungkin sekedar jadi bacaan cibiran saja pun itu tak apa.

Ada ungkapan yang cukup bijak bahwa “Para Nabi dan Ulama banyak berbicara tentang Allah Swt, mulai dari sifat-sifat-Nya, Asma al-Husna-Nya, lalu membahas tentang wujud, wahdaniat, kalam al-Ilahi dan sebagainya, dan kita tidak mendengar seorang pun yang mengharamkan untuk membahasnya ataupun memakruhkannya. Lantas apakah RUH lebih tinggi kedudukannya ?, sehingga menjadi haram untuk di bahas ? “… [saya serahkan pada kawan].

RUH

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit” [al-Isra' : 85]

Ruh adalah bagian dari hal ghaib, dan bisa dikatakan rahasia Allah Swt., serta manusia hanya memiliki sedikit pegetahuan tentang ruh, akan tetapi bukan berarti tidak boleh dalam membahasnya. Dalam membahasnya pun sudah barang tentu didasari oleh rasa ingin tahu, dan didasari oleh pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

Mengapa Allah merahasiakan Ruh dan mengaitkannya dengan Ruh-Nya, dan di dalam Alqur’an termasuk kelompok ayat-ayat mutasyabihat (makna yang dirahasiakan), karena pada ayat tersebut terdapat kalimat Ruh manusia adalah Ruh yang ditiupkan dari RUH-KU (Min ruuhii) arti harfiahnya adalah Ruh milik Allah. Akan tetapi para mufassir menterjemahkan Ruh ciptaan Allah. Kita jangan terburu-buru menafsirkan karena dari segi tata bahasa ayat ini termasuk kalimat muatasyabihat, sebab Allah sendiri melarang meraba-raba atau mereka-reka seperti apa ruh itu kecuali hanya bisa merasakan bahwa di dalam diri ini ada yang melihat (bashirah) setiap gerak-gerik jiwa dan pikiran serta perasaan kita. Dan bashirah bersifat fitrah (suci) karena ia selalu bersama dan mengikuti amr-amr (perintah) Tuhannya.

“Maka apabila telah Aku menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Al Hijr,29)

Ruh adalah rahasia Tuhan yang di tiupkan kepada nafs (jiwa atau badan). Ruh ini menyebut dirinya AKU, yang disebut bashirah (yang mengetahui atas jiwa, qalb, fisik dll. – lihat tafsir Shafwatut Attafaasir surat Al-qiayamah : 14 )

Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri (nafs). Di dalam nafs (diri) manusia ada yang selalu tahu, yaitu Aku. Yaitu Ruh manusia yang menjadi saksi atas segala apa yang dilakukan nafsinya (diri). Ia mengetahui kebohongan dirinya (nafs), kemunafikan, rasa angkuhnya, dan rasa kebencian hatinya. Karena itu sang ruh disebut min Amri rabbi – selalu mendapatkan intruksi-instruksi Tuhan-Ku. Mengapa demikian, – karena ia tidak pernah mengikuti kehendak nafsu dan tidak pernah menyetujuinya tanpa kompromi sedikitpun. Ialah disebut fitrah yang suci, dan fitrah manusia selalu seiring dengan fitrah Allah (QS. Ar Rum:30)

Jadi jika manusia mengikuti fitrahnya, maka ia akan selalu mengikuti kehendak ilahy.

Sekarang kita mencari pengertian tentang An Nafs

Nafs mempunyai beberapa makna :

Pertama, An Nafs yang berkaitan dan tumpuan syahwat atau hawa [hawa berasal dari bahasa Arab yang tercantum dalam Alqur'an, wanaha An nafsa 'anil hawa - dan ia menahan dirinya (fisiknya) dari keinginannya (hawanya) ]( An Nazi’at :40-41). Yaitu hawanya ; mata, telinga, mulut, kemaluan, otak dll. Hawa-hawa atau syahwat, selalu berkecenderungan kepada asal kejadiannya yaitu sari pati tanah – dengan demikian An nafs berarti fisik (tanah yang diberi bentuk). Dia akan bergerak secara naluri mencari bahan-bahan materi asal fisiknya, ketika kekurangan energi atau kekurangan unsur-unsur asalnya maka ia akan segera mencari atau secara naluri ia akan berkata, saya lapar, saya haus !.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari ekstrak yang berasal dari tanah.” (QS. Al Mukminun:12)

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari Lumpur hitam yang berstruktur (berbentuk), maka apabila Aku telah meniupkan kepadanya Ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” [QS. Al Hijir: 28-29]

An nafs arti Fisik yang mempunyai bahan dari ekstrak tanah yang mempunyai bentuk .

Kedua, An Nafs berarti : Jiwa, – jiwa mempunyai beberapa sifat, nafs lawwamah (pencela), nafs muthmainnah (tenang), Nafs Ammarah bissu’ (senantiasa menyuruh berbuat jahat).

Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah ….. [QS. Al Fajr : 27-28]

Wala uqsimu binnafsil lawwamah … [QS. Al Qiyamah:2]

Wama ubarriu nafsii, innannafsa laammaratun bissuu’ [QS. Yusuf:53]

Sedangkan Qalb, artinya sifat jiwa yang berubah-ubah, tidak tetap. Terkadang ia bersifat muthmainnah, kadang juga lawwamah, atau berubah menjadi ammarah bissuu’

Watak seperti inilah yang dimaksud dengan QALB (berbolak-balik), jadi keliru kalau dikatakan qalb itu adalah wujud karena dia bukan jiwa, akan tetapi merupakan sifatnya jiwa yang selalu berubah-rubah. Jiwa yang mempunyai sifat berubah-rubah inilah, dinamakan Qalbun !! sedangkan jiwa yang selamat disebut Qalbun salim (selamat dari sifat yang berubah-rubah) – illa man atallaha biqalbin saliim – kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. (QS. Asy Syura: 89)

An nafs (jiwa) memiliki alat-alat, Pikiran, Perasaan, Intuisi, Emosi, dan Akal. Sedangkan An Nafs (fisik) memiliki alat-alat : Penglihatan (mata), Pendengaran (telinga), Perasa (lidah), Peraba, Penciuman (hidung).

Selanjutnya kita lihat kitab Barnabas berikut ini :

“…kemudian berkata Yesus, demi Allah pada hadirat-Nya Ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita. Karena demikian saling merapatnya antara Ruh dan perasaan telah berhubungan bersama, hingga sebagian besar manusia mengiakan Ruh dan perasaan itu menjadi satu dan hal yang sama, hanya terbaginya dalam penugasan sedangkan tidak dalam wujud, menyebutkannya sensitive (rasa perasaan), vegetative (tubuh yang tumbuh) dan intellectual soul (Ruh berfikir, cerdas akal). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu adalah satu, yang berfikir dan hidup. Orang-orang dungu, dimanakah akan mereka dapatkan ruh akal tanpa kehidupan ? tentulah keadaan ketidak sadaran, apabila rasa perasaan meninggalkannya.” Thaddeaus menjawab, “O Guru, apabila rasa perasaan (sense) meniggalkan kehidupan (life) seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”

Ayat diatas menjelaskan banyak orang tertipu mengenai kehidupan, sesungguhnya Ruh itulah yang menyebabkan orang itu hidup dan berfikir dan memiliki perasaan (sense), tubuh yang bergerak dan tumbuh, berfikir dan berakal. Semuanya itu karena adanya Ruh. Dan Thaddeaus menyimpulkan bahwa jika manusia tidak memiliki Ruh maka tidak akan ada kehidupan pada dirinya. Berarti rasa (sense) intellectual soul merupakan intrument ruh.

Kemudian pada pasal 123

Ketika semua duduk, Yesus berkata lagi, ALLAH kita untuk memperlihatkan kepada makhluk-makhluk-Nya kasih sayang-Nya dan rahmat serta Maha Kuasa-Nya, dengan Maha pemurah dn Maha Adil-Nya, membuat sesunan dari empat hal berlawanan yang satu dengan yang lain, lalu menyatukannya dalam suatu tujuan ahkir, itulah manusia dan ini adalah tanah, udara, air dan api. Supaya tiap-tiap satu sama lain menenangkan pertentangannya. Dan dari empat benda ini, dia menjadikan sebuah kendi (bejana) itulah tubuh manusia, daging, tulang-tulang, darah, sum-sum dan kulit dengan saraf-saraf dan pembuluh-pembuluh darah, dan dengan semua bagian-bagian dalamnya; dalam tempat itu Allah meletakkan RUH dan rasa perasaan, laksana dua tangan dari hidup ini. Memberikan tempat kepada rasa perasaan pada setiap bagian tubuh untuk itu menebarkan dirinya disana seperti minyak. Dan kepada Ruh, dia memberikan untuk tempatnya hati, yang bersatu dengan perasaan, dialah akan menerima seluruh kehidupan itu.

Ayat ini menerangkan penciptaan manusia seperti terdapat di dalam Al qur’an surat Al Hijir 28-29 , sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh-Ku , maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, Surat Al mukminun: 12 , berasal dari ekstrak tanah

Surat Al hajj : 5, manusia dari turab (berupa debu)

Surat Ar Rahman : 14 , dari tanah liat yang kering seperti tembikar.

Pasal 179, dikatakan Ruh itu bersifat universal dan besarnya 1000 kali lebih besar dari seluruh bumi.

Jiwa adalah bersifat sangat luas dengan identitas dirinya yang dipanggil sebagai feminin karena sifatnya yang universal – Ya Ayyatun nafsul muthmainnah – wahai jiwa yang tenang. Penggunakan Ya nida’(Ayyatuha) atas jiwa sebenarnya biasa digunakan untuk memanggil wanita, juga untuk panggilan (nida’) sesuatu yang sangat luas berdasarkan dalil kullu jam’in muannatsin – sesuatu yang bersifat universal atau luas disebut muannats (feminin). Misalnya, jannatun (syurga), samawat (langit), Al Ardh (bumi), Al jamiat (universitas / universal).

Hampir jarang orang menyadari akan dirinya sebenarnya sangat luas, akan tetapi kesadaran ini telah lama menyesatkan fikiran kita yang menganggap bahwa diri kita sebatas apa yang tergambar secara kasat mata saja, padahal lebih dari yang ia bayangkan, bahwa manusia baik logam, tumbuhan dan gunung adalah sebetulnya terdiri dari suatu untaian kejadian-kejadian atau proses. Dimana segala alam lahir ini tersusun oleh senyawa-senyawa kimiawi yang dinamai zarrah (atom). Dan atom-atom ini dalam analisa terakhir adalah satu unit tenaga listrik, yang energi positifnya (proton) berjumlah sebanyak energi negatifnya (electron) di dalam atom ini – setiap detik terjadi loncatan dan pancaran (chark and spark) secara terus menerus. itulah semburan-semburan yang tidak ada hentinya dari daya listrik. Manusia tidak mampu melihat semburan atau loncatan yang tidak putus-putus dengan kecepatan yang sangat luar biasa ini dengan kasat mata biasa, kecuali dengan kesadaran ilmu yang cukup – sebagaimana Al qur’an mengungkapkan tentang gunung yang dianggap oleh orang awam seperti diam tak bergerak :

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan.” [QS. An Naml:88]

Secara fisik, manusia bersifat luas dan ruhani meliputi keluasan alam semesta.

Insya Allah … bermanfa’at. amin.

By : Vicky Robiyanto
sumber :memahamisufi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar