Laman

Selasa, 27 Juli 2010

Bulan Ramadhan...gudang yang berisi khasanah Rahmat, maghfirah, dan itqun minan-naar

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibakan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. 002 : 183)

Bulan Ramadhon sudah tiba, Rasulullah,saw., bersabda ‘bulan umatku.’ Para syaikh sufi menyebutnya ‘bulan suci’, ucapan ini tersirat sebuah perintah, agar memasuki bulan suci dengan mensucikan diri terlebih dahulu. Tidaklah mungkin kesucian bercampur dengan kekotoran, keduanya mustahil bisa bercampur, laksana air dengan minyak. Pastilah tertolak bila memasuki bulan suci dengan biasa-biasa saja, dengan tidak mempersiapkan sebaik-baik kesucian diri.

Oleh karenanya ada hadits yang mengatakan bahwa sungguh beruntung orang-orang yang hatinya merasa gembira bila bulan Ramadhon tiba. Setelah Nisfu Sya’ban berlalu, dan lembaran baru ‘takdir’ manusia telah dihamparkan untuk satu tahun kedepan, maka barometer untuk melihat apakah lembaran takdir itu penuh dengan ‘kebajikan’, adalah menjalankan ibadat puasa dengan sebaik-baiknya, dengan kualitas yang tinggi. Ada kelompok yang pergi berziarah terlebih dahulu ke makam Rasulullah,saw., di Madinah al Munawaroh, lalu dilanjutkan dengan umroh, ini adalah sebaik-baik kelompok karena ‘takdir’ membawanya demikian. Ada pula yang berziarah ke makam para waliyullah, para ulama dan pemuka agama lainnya. Jika puasa hanya untuk menahan lapar dan haus saja, maka tidak ada bedanya dengan puasanya anak kecil, umur meningkat namun kualitas keruhanian merosot, dan ini tanda-tanda ‘kemunduran’ spiritual, al hasil tidak ada sedikitpun rasa malu kepada Allah SWT. Dan orang yang hatinya tidak pernah hinggap rasa malu kepada Allah SWT, jelas bahwa ia tidak sedikit pun mengenal-Nya, dan orang yang tidak mengenal-Nya berarti ia tersesat, meskipun ia merasa mulia karena banyaknya harta dan tingginya kedudukan di dunia fana ini.

‘Tasawuf adalah puasa.’ Bukan berarti orang yang berpuasa sudah bertasawuf, akan tetapi hakikat puasa mewakili kehidupan bertasawuf. Berpantang dari dunia adalah inti berpuasa, dan keberpantangan mencakup semua pokok tasawuf, sesuatu yang halal diharamkan disiang hari, seluruh panca indra dijaga untuk melakukan tindakan-tindakan yang bermanfaat untuk akhirat, gerak gerik hati diteliti setiap saat agar tidak ada sesuatupun selain Allah SWT. Perbandingannya jelas satu dari dua belas bulan dipakainya untuk hijrah dari kehidupan biasa masuk kedalam kehidupan kesucian. Jika demikian, sangatlah beruntung para ahli dzikir yang melakukan keberpantangan pada setiap hari sampai matinya.

Berbeda orang yang lapar lalu menangis dengan orang yang menangis karena lapar. Yang pertama lapar yang diniatkan lalu dijadikan tiang mujahadahnya, agar ditemukan mata air kebijaksanaan, tiada yang tahu akan pahala ibadah seperti ini kecuali hanya Allah semata, ia menangis karena mendapatkan kunci akhirat (lapar) sedangkan yang kedua lapar yang tidak diniatkan dan tidak ada makanan sedikitpun untuk dimakannya, dia menangis karena tidak mendapatkan kunci dunia (makan) dan mengabdi kepada jiwa rendahnya yang menyuruhnya agar segera melepaskan syahwat untuk makan, ini tidak bermanfaat bagi olah batin dan tidak berpahala sama sekali. Manfaat lapar itu adalah milik orang yang berpantang dari makan, bukan orang yang dicegah dari makan, walaupun rasa lapar itu merupakan penyiksaan bagi badaniyah, ia mencahayai hati dan membersihkan jiwa, sedangkan makan banyak merupakan kebiasaan binatang.

Orang yang terus-menerus melakukan latihan ruhaninya dengan lapar, yang bertujuan mendapatkan ridha dari Allah SWT dan melepaskan diri dari ikatan duniawi derajatnya tidak sama dengan orang biasa. Kekotoran, kerusakan akhlak ini disebabkan karena manusia mengejar kesenangan-kesenangan. Masih ingatkah karena secuil makanan Nabiyullah Adam, a.s., jatuh kebumi.

Puasa telah diperintahkan kepada Nabi, saw beserta umatnya dan nabi-nabi terdahulu ini adalah perintah suci yang datang dari Yang Maha Suci dan diwajibkan pada bulan yang suci (Ramadhon). Puasa membuat manusia rendah hati dan mawas diri, sebaliknya ketika kenyang, manusia akan merasa angkuh dan sombong, sesungguhnya makhluk tidak mempunyai hak untuk itu. Itulah sebabnya puasa adalah ibadah yang paling utama. Rasulullah saw bersabda : “Segala sesuatu mempunyai pintu, dan pintunya ibadah adalah puasa.” Dan sabdanya lagi : ‘Jika umatku mengetahui keutamaan bulan Ramadhon maka mereka menghendaki setiap bulannya adalah bulan Ramadhon.’ Hubungan puasa dengan bulan suci Ramadhon laksana sebuah gudang yang berisi khasanah Rahmat, maghfirah, dan itqun minan-naar (kebebasan dari api neraka), dan pintunya adalah puasa. Semua khasanah yang tak terhingga nilainya itu disediakan oleh Allah SWT bagi manusia yang berpuasa. Janji Allah pasti ditetapi tidak seperti janji manusia, untuk itu pergunakanlah bulan yang penuh berkah ini dengan berpuasa sebaik-baiknya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) juga berkata di awal bulan Ramadhon : ‘Kita memasuki bulan keberpantangan kecuali satu hal, yaitu kepada fakir miskin, dekaplah mereka lalu berbagi rasa dan harta kepadanya.’ Didalam bulan Ramadhon juga ada kewajiban membayar zakat fitrah, ini menunjukan adanya pintu lain yang mempercepat sampainya kepada khasanah tadi, bayangkan zakat fitrah yang diterima oleh para fakir miskin lalu menggembirakan hati mereka, bias itu akan terpendar kepada sipembayar zakat, qolbunya akan semakin bercahaya, dan kebahagian akan terus menyelimuti jiwanya. Para sahabat Rasulullah saw., sangat memahami akan keutamaan berpuasa di bulan ramadhon, sehingga air mata mereka bercucuran tatkala berpisah dengan bulan yang teramat suci ini.

Tanpa berpuasa, mustahil, seseorang menjadi seorang pelaku ibadah yang tangguh, mengapa? Karena jiwa rendah tidak akan memperkenankannya. Pertama dia akan menyangkal, lalu keberatan dan menolaknya. Itulah betapa buruknya prilaku jiwa rendah. Dia adalah makhluk terburuk yang pernah diciptakan, gerakannya sangat halus, dia bisa menyelinap seolah-olah bersahabat dengan akal dan tanpa terasa menjerumuskan seseorang. Tujuan utamanya adalah menghalangi seseorang untuk menjadi hamba yang patuh dan taat. Allah SWT berfirman : ‘Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ (QS 12: 53).

Manusia zaman kini, mempunyai persepsi bahwa jiwa rendah adalah hamba yang patuh, ini bisa dilihat dari prilaku kehidupannya yang hanya digunakan untuk mengejar kesenangan, atau sama artinya dengan memberi makan jiwa rendahnya, tanpa adanya kesadaran bahwa jiwa rendah selalu menyangkal dan menolak untuk berpuasa, membayar zakat, shodaqoh dan shalat. Lihatlah di tv pada saat menjelang sahur, hampir semuanya mengumbar obrolan sia-sia dan banyak tawa, itulah golongan penghibur, yang hakikatnya adalah penghibur jiwa rendah dan ketahuilah bahwa penghibur jiwa rendah ini adalah golongan syaithon. Dunia ini ada karena ketidaksadaran mereka, karena mereka telah melupakan Tuhan, serta mengajak orang lain turut melupakan-Nya, hanya sekedar untuk mendapatkan uang receh. Bila mereka sadar dan kembali mengingat Tuhan, maka dunia ini akan lenyap. Semoga Allah SWT menunjukinya jalan yang benar.

Yang paling efektif untuk membuat jiwa rendah menjadi lemah adalah lapar. Seorang Syaikh berkata : ‘Ketika Allah menciptakan jiwa rendah, Dia bertanya, “Siapa kamu dan siapa Aku?” Jiwa rendah menjawab, “Engkau ya engkau, aku ya aku.” Dia tidak berkata, “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu!” Kemudian Allah memerintahkan jiwa rendah untuk terjun ke dalam Api Neraka selama 1000 tahun. Setelah itu jiwa rendah ditanya dengan pertanyaan yang sama dan dia menjawab dengan jawaban yang sama. Dia lalu diperintahkan untuk masuk ke Neraka yang dingin selama 1000 tahun, lagi-lagi dia memberikan jawaban yang sama. Kemudian dia diperintahkan untuk pergi ke lembah kelaparan selama 1000 tahun. Ketika dia dikeluarkan dan ditanya, “Siapa Aku dan siapa dirimu?”, lalu jiwa rendah menjawab, “Engkau adalah Tuhanku, Tuhan yang Mahakuasa, dan aku adalah hamba-Mu yang lemah.” Dia menjawab dengan gemetar.’

Tak ada sesuatupun, kecuali lapar yang membuat jiwa rendah menyatakan penghambaannya. Puasa adalah sebaik-baik tameng untuk berperang, dan puasa adalah penjagaan terbaik dari serangan-serangan yang dasyat. Itulah sebabnya, sejak manusia pertama telah diperintah oleh-Nya untuk berpuasa. Perintah berpuasa itu dapat ditemui di dalam kitab Injil, Taurat, Zabur dan di dalam al Qur’an yang diturunkan oleh Allah SWT. Puasa yang paling ringan sesungguhnya diberikan kepada ummat Muhammad Saw., terkemudian. Karena, beberapa periode awal kenabian, para sahabat Rasulullah Saw hanya diperbolehkan membatalkan puasanya antara Maghrib dan ‘Isya, setelah ‘Isya mereka diperintahkan untuk berpuasa kembali, sehingga waktu berpuasanya selama dua puluh dua jam. Kemudian Allah SWT membuatnya lebih ringan, diperkenankan makan, minum dan mendatangi istri pada waktu malam hingga menjelang waktu subuh. Walaupun itu adalah puasa yang ter-ringan, banyak orang yang tidak melaksanakannya. Padahal puasa adalah pintu khasanah tadi dan adalah obat dari segala obat serta mempunyai pengaruh yang sangat baik terhadap tubuh dan jiwa seseorang. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengutip sebuah hadis riwayat Bukhari Muslim, yakni : ‘Al-shawm li wa-ana ajza bihi, Puasa adalah milik-Ku dan Aku yang paling berhak memberikan ganjarannya.’ Yakni, Puasa itu harus ditujukan untuk Allah semata baik lahir ataupun batinnya.

Hadrat Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyaband, (semoga Allah mensucikan ruhnya) berkata : ‘Sebenar-benar puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah.’

Al Imam Abul Qosim al Junaidi (semoga Allah meridhoinya), mengatakan : ‘Puasa adalah separuh jalan.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Ada sesuatu didalam dirimu yang selalu meronta-ronta untuk segera dilaksanakan, ketahuilah bahwa itu adalah syahwat.’ Syahwat adalah kendali syaithon, biang keladi robohnya bangunan iman. Barangsiapa dapat dikendalikan, maka dialah budaknya. Oleh sebab itu, bukan golongan orang biasa yang mampu mengalahkan syahwatnya, latihan untuk mengekang syahwat yang paling jitu adalah puasa, diawali dengan menahan syahwat ingin makan dan minum, lalu melawan syahwat mengantuk yang mengajak segera tidur, kemudian syahwat mata bila mamandang lawan jenisnya, syahwat telinga yang ingin mendengar pergunjingan, syahwat hidung yang ingin segera melontarkan kekejian, dan syahwat mulut yang segera ingin berbicara bak orang yang terpandai. Lalu menahan syahwat dari cakap-cakap hati yang tidak berguna, dan hanya untuk Allah semata. Menahan syahwat bagi orang-orang yang bertasawuf dikenal dengan istilah mujahadah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Barang siapa seseorang melakukan mujahadah maka Allah akan membayarnya secara kontan.’

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darany, r.a., mengatakan : ‘Bahwa meninggalkan sepotong daging diwaktu makan malam lebih aku sukai dari pada berdiri melakukan shalat sepanjang malam.’

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Dibolehkan membatalkan puasanya tatkala sedang melakukan safar, akan tetapi sebaik-baik puasa adalah dalam keadaan safar.’ Safar mempunyai arti lahir dan arti batin, keduanya berprinsip kepada riyadhah dan mujahadah, arti lahirnya adalah melakukan perjalanan dari suatu tempat menuju ketempat lain untuk tujuan mendapatkan manfaat batin, dibuatnya jasad ini letih sambil terus menerus berdzikir dan berharap mendapatkan musyahadah, sedangkan arti batinnya adalah berniat hijrah dari kehidupan biasa masuk kedalam kehidupan kesucian.

Para salik terbiasa melakukan puasa sunah disetiap hari Senin dan Kamis atau disetiap hari Selasa, Rabu dan Kamis. Jika Syaikhuna menawarkan teh atau sesuatu untuk dimakan maka sudah merupakan adab bahwa para salik akan membatalkan puasanya, dan duduk bersama Syaikh menemani dan mendengarkan wejangan yang bermanfaat bagi kehidupan hati. Hal ini juga biasa dilakukan oleh para sahabat Rasulullah, saw., Seorang Syaikh berkata : ‘Mengerjakan puasa selain dibulan Ramadhon adalah sunah sedangkan memuliakan tamu adalah wajib apalagi memuliakan seorang guru.’

Syaikh Abul Hasan al-Kharqani, r.a., berkata : ‘Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa’. Ini memberikan pengertian bahwa jika seorang sahabat berkunjung atau bertamu sedangkan tuan rumah sedang berpuasa, maka ia harus duduk bersamanya dan makan bersamanya demi menjaga adab dalam persahabatan dengannya. Salah satu prinsip dalam berpuasa dan ibadah lainnya adalah menyembunyikannya dari penglihatan orang dan makhluk lain. Jika seseorang tetap berpuasa dan menyampaikan kepada sahabatnya bahwa ia sedang berpuasa, maka kebanggaan bisa menyelinap masuk ke dalam hati (riya) yang akan menghancurkan kualitas puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.

Penasihat ruh adalah akal dan panglima hawa nafsu adalah jiwa rendah, sifat akal adalah cahaya (nuur) dan sifat jiwa rendah adalah kegelapan (dhulumaat), bilamana seseorang tidak mampu menahan makan sebanyak-banyaknya maka akan bertambah kuatlah jiwa rendahnya, semakin kelamlah kegelapan jiwanya, dan semakin kokohlah ikatan duniawinya, sedangkan bila seseorang berpantang dari makan (berpuasa) maka jiwa rendah menjadi lemah dan ikatan duniawai menjadi longgar, sehingga akal mendapatkan kekuatan (cahaya) dan rahasia-rahasia dan bukti Illahi menjadi tampak, dan setiap saat benaknya dipenuhi oleh perenungan tentang Tuhan. Ketahuilah para sahabat, bahwa puasa yang sempurna dikala seseorang menjalani khalwat, adab berkhalwat ini mencerminkan penghambaan yang sejati.

By : Semesta Qalbu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar