Laman

Selasa, 27 Juli 2010

Adab Tentang Niat

Ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan Allah azza wa jalla sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah azza wa jalla karena nifak dan riya’nya.


Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan keutamaan shalat yang menggugurkan dosa-dosa karena dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu untuk seluruh waktu.” [HR.Muslim no.228]

Sebaliknya, beliau juga memperingatkan umat dari melakukan shalat karena riya’, karena hal ini akan menggugurkan amal, sebagaimana hadits berikut ini:

Dari Abu Sa’id, dia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami ketika kami sedang membicarakan Al Masihud Dajjal. Kemudian beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kamu sesuatu yang menurutku lebih aku takutkan terhadap kamu daripada terhadap Al Masihud Dajjal?” Maka kami menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi. Yaitu seseorang melakukan shalat, lalu dia membaguskan shalatnya karena dia melihat pandangan orang lain.” [Hadits hasan riwayat Ibnu Majah, no.4204]

Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan niat di dalam seluruh amalan. Oleh karena itu dalam banyak hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan hal ini. Antara lain, sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan.” [HR.Bukhari no.1, Muslim no.1907, dari Umar bin al Khaththab radhiyallahu ‘anhu]

Sesungguhnya suatu perbuatan akan di terima oleh Allah ta’ala jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti sunnah. Oleh karena itu Allah azza wa jalla akan melihat hati manusia, apakah ia ikhlas; dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu.” [HR.Muslim no.2564]

Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Allah azza wa jalla kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [QS.al Bayyinah/98:5]

Niat Dalam Kebaikan

Di antara Rahmat dan anugerah Allah azza wa jalla adalah bahwa Dia menulis kebaikan hamba-Nya hanya karena keinginan untuk berbuat kebaikan, sedangkan keinginan (niat) berbuat keburukan belum di tulis, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hal ini di dalam hadits berikut:

“Sesungguhnya Allah azza wa jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah azza wa jalla menulis disisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali-lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah azza wa jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah azza wa jalla menulis satu keburukan saja.” [HR.Bukhari no.6491, Muslim no.131]

Niat Dalam Keburukan

Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Allah azza wa jalla. Namun, jika keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal ini Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Jika dua orang Muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi;berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakrah) bertanya, “Wahai Rasulullah, si pembunuh (kami memahami, pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau menjawab, “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu.” [HR.Bukhari no.31, 7083; Muslim no.2888; dari Abu Bakrah]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan bahaya niat buruk dalam hubungan antar hamba. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai pencuri.” [HR.Ibnu Majah, no.2410; Syaikh al Albani berkata: “Hasan shahih”]

Pahala dan Siksa Karena Niat

Dari Abu Kabsyah al Anmari radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Alla azza wa jalla berikan rezeki kepadanya berupa harta (dari jalan halal) dan ilmu (agama islam), kemudian dia bertakwa kepada Rabbnya pada rizki itu (harta dan ilmu), dia berbut baik kepada kerabatnya dengan rizkinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah azza wa jalla padanya.maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (disisi Allah azza wa jalla). Hamba yang Allah azza wa jalla berikan rezeki kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rezeki berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan, “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu).” Maka dia (dibalas) denga niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Allah azza wa jalla berikan rezeki kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah azza wa jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (disisi Allah azza wa jalla). Hamba yang Allah azza wa jalla tidak memberikan rizki kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memilki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu).” Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.” [1]

Syaikh Salim al Hilali hafidzahullah berkata menjelaskan di antara pelajaran dari hadits ini: “Seseorang itu akan diberi pahala atau dihukum karena keinginan yang tetap/kuat (didalam hatinya, pent) walaupun dia tidak mampu melaksanakanya. Karena walaupun dia tidak mampu melakukannya, namun dia mampu mengharapkan dan menginginkan.” [2]

Niat Baik Tidak Merubah Kemaksiatan Menjadi Ketaatan

Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang Muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah azza wa jalla. Demikian juga seorang Muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik.

Niat yang baik saja tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti seseorang yang bersedekah dengan uang curian atau korupsi. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan diterima sedekah dari (hasil) ghulul (khianat).” [HR.Muslin no.224]

Jadi, walaupun suatu amalan itu merupakan kebaikan secara lahiriyah dan dilakukan dengan niat yang baik, seperti shalat atau sedekah, namun jika tidak memenuhi syarat-syarat dalam agama, maka niat yang baik itu tidak dapat merubahnya sebagai amalan ketaatan.

Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok dimpimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkn: “Bertakbir 100 kali”, merekapun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini – yang aku lihat kalian sedang melakukannya-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahman, ini kerikil. Kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih dengannya. Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! Aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad – shalallahu ‘alaihi wasallam-, alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Inilah para Sahabat Nabi masih banyak. Inilah pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah azza wa jalla yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad, atau kalian adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Demi Allah azza wa jalla, wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan.” Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya.” Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan kepada kami: “Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al Qur’an, namun al Qur’an itu tidak melewati tenggorokan mereka.” Demi Allah azza wa jalla, aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka itu adalah dari kalian.” Kemudian beliau meninggalkan mereka. [3]

Marilah kita perhatikan jawaban beliau diatas: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya.” Yaitu banyak orang menghendaki kebaikan, memiliki niat yang baik, namun karena tidak melewati jalan yang harus di lalui, maka dia tidak mendapatkan apa yang dia niatkan.

Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan.

Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas di dalam seluruh amalan, lahir dan batin. Demikian juga amalan itu harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah azza wa jalla selalu memberikan pertolongan kepada kita untuk meraih keridhaannya.

Rujukan:
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Kitab-kitab Sunan
4. Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakat Jabir al Jazairi
5. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin, karya Syaikh Salim al Hilali
6. Ilmu Ushul Bida’, karya Syaikh ‘Ali al Halabi
7. Dan lain-lain

Note:
[1] Hadits shahih riwayat Tirmidzi no.2325; Ahmad 4/230-231, no17570; Ibnu Majah no.4228; dan lainnya. Dishahihkan Syaikh al Albani di dalam Shahih Ibni Majah, no.3406. Lihat juga Al Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal.252-253
[2] Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin 1/608, Syarah hadits no.557
[3] Hadits shahih riwayat Darimi di dalam Sunan, juz 1, hal.68-69, no.206; dan Bahsyal di dalam Tarikh Wasith, hal.198-199. Lihat: Al Bid’ah, hal.43-44; Ilmu Ushul Bida’, hal.92

By : Al-Putra Kelano

Oleh : Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Sumber:
Diketik ulang dari Majalah as Sunnah Edisi 04 Thn.XIII, Rajab 1430/Juli 2009, Hal.57-60
Dipublikasikan kembali oleh : http://alqiyamah.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar